Paket kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung berorientasi jangka pendek. Lagi pula tanpa kebaruan yang berarti, ujar Direktur Eksekutif Cellios, Bhima Yudhistira. Kenaikan PPN 12% yang berlaku 1 Januari 2025 ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi rumah tangga, khususnya kelas menengah.
Insentif dan stimulus pemerintah hampir mengulang dari insentif yang sudah ada. Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10kg yang hanya berlaku 2 bulan. “Sedangkan efek negatif naiknya tarif PPN 12% berdampak jangka panjang,” ujar Bhima.
Di sisi lain, Pemerintah memberikan insentif PPN DTP 3% untuk kendaraan Hybrid. Hal ini semakin mencuatkan kontradiksi. Keberpihakan pemerintah ternyata pro orang kaya. Kelas menengah diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat. “Harga mobil Hybrid pastinya mahal. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” ujar Bhima. Dampak narasi kontradiktif ini akan langsung terasa pada harga barang dan jasa, yang otomatis naik.
Pihak yang paling berdampak pada kelas menengah, yang tidak mendapatkan subsidi tetapi terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari. “Apalagi kenaikan upah UMP hanya 6,5%, yang tidak akan mampu mencukupi kenaikan inflasi dan kenaikan harga akibat PPN 12% tersebut,” ujar Achmad.
Dengan daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan PPN ini memperburuk situasi ekonomi rumah tangga. Berdasarkan data BPS, daya beli kelas menengah telah menurun sekitar 5% pada 2024 akibat tekanan inflasi. Rumah tangga kelas menengah rata-rata menghabiskan 10% dari pendapatannya untuk membayar listrik. Kini, pengeluaran mereka akan meningkat menjadi 12-15% dari pendapatan.
Kenaikan harga BBM akan memicu efek domino pada biaya transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya meningkatkan harga kebutuhan pokok. “Kelas menengah terjebak di antara kelompok bawah yang menerima bantuan sosial dan kelompok atas yang memiliki sumber daya lebih besar untuk menghadapi kenaikan biaya hidup,
Menurut sebuah survei dari Inventure Research dan Bisnis Indonesia pada 2024, hampir 49% rumah tangga kelas menengah melaporkan penurunan daya beli akibat inflasi dan kenaikan biaya hidup. Dengan kebijakan baru 2025, angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 60%. Dan itu mempercepat penyusutan kelas menengah di Indonesia.●(M Iqbal)