octa vaganza
Fokus  

Kelamnya Tekstil dan Produk Tekstil, Buramnya Industri Pengolahan

Industri tekstil dan pengolahan tekstil kian redup dan di ambang ajal. Kinerja sejumlah industri pengolahan melambat. Mempertahankan grafik berjalan di garis datar saja tak berdaya. Boro-boro mendekati realisasi mimpi meroket…

DALAM rentang waktu Januari 2018 hingga September 2019, sebanyak 188 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat bangkrut. Ujung cerita tentu saja PHK. Perusahaan-perusahaan TPT tersebut pindah ke Jawa Tengah. Bangkrutnya ataupun berpindahnya perusahaan TPT yang mayoritas berada di Kab Bandung itu “Akibat dibukanya keran impor tekstil dari Cina,” kata Tim Akselerasi Jabar Juara untuk Bidang Ketenakerjaan Disnakertrans Provinsi Jabar, Hemasari Dharmabumi.

            Faktor lain, karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi tekstil. Industri di Majalaya, misalnya, sudah tua. Bahkan masih ada alat tenun yang dipakai oleh pabrik garmen di sana. Alasan lain, ktakharmonisan hubungan kerja antara pengusaha dengan pembeli atau pemesan produk.

Misalnya, pengalaman beberapa pabrik di Subang dan Bogor. Bermasalah dengan pembeli mengakibatkan pengusaha alami kerugian. Pembeli umumnya adalah pemesan asing dengan merek dagang terkenal. Misalnya, ada buyers memesan produk. Ketika produksi sedang berjalan, tiba-tiba ada demo buruh. Dalam kondisi seperti ini, sering kali buyers kabur dengan alasan untuk menjaga nama baik produknya.

            Bagaimana menjual produk yang telanjur jadi? Jika dilempar ke pasaran dengan atribut lengkap, mereka terkendala hak merek milik pembeli. Kerugian makin besar karena material bahan produk itu diimpor dan harus dibayar  pengusaha. Itulah mengapa dibuat task force. Berawal dari task force inilah digagas Buyers Forum. Melalui Buyers Forum, akan dikumpulkan para pembeli dari seluruh dunia yang memesan produk dari industri TPT Jabar, bekerja sama dengan ILO.

Industri pengolahan seret

            Bank Indonesia mencatat kinerja sektor industri pengolahan pada kuartal III 2019 mengalami perlambatan dibanding sebelumnya. Prompt Manufacturing Index (PMI) BI sebesar 52,04 persen. “Fase ekspansi terjadi pada hampir seluruh sub sektor, tetapi terpantau adanya perlambatan pada sub sektor Makanan, Minuman dan Tembakau, Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki.

Perlambatan ekspansi usaha diprakirakan terjadi pada beberapa sub sektor seperti Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki; Industri Kertas dan Barang Cetakan; Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet serta Industri Semen dan Barang Galian Non Logam.

Untuk kakao, Kementerian Perindustrian tengah memacu pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao di dalam negeri. “Industri ini termasuk salah satu sektor prioritas yang harus dikembangkan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035,” ujar Dirjen Industri Agro Kemenperin, Panggah Susanto.

Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk coklat, lemak coklat, makanan dan minuman dari coklat, dan suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao. ”Industri olahan kakao di dalam negeri saat ini sekitar 40 perusahaan dengan total kapasitas produksi hingga 800 ribu ton per tahun,” katanya.

Indonesia sebagai produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton pada tahun 2015. Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit pengolahan di sentra biji kakao yang bertujuan untuk menumbuhkan para wirausaha baru skala kecil dan menengah.

“Dalam rangka mendukung kebijakan ini, kami memberikan bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao di daerah penghasil biji kakao sejak tahun 2012. Di antara yang sempat memperoleh alat pengolah sederhana itu adalah Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,” ujar Panggah Susanto.

Satu hal penting dilakukan saat ini adalah pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di desa-desa. “Ini untuk menjaga dan mengatur harga disaat komoditas pertanian mengalami musim panen atau bahkan kelebihan produksi,”tutur Pengamat Pertanian dari IPB, Hermanto Siregar. Pengalaman membuktikan, komoditas cabai akan mengalami penurunan harga ekstrim saat musim panen tiba (serentak) sehingga kelebihan produksi.

Kalau musim panen kan harga cabai bisa Rp9.000 per kilogram. Menangis petaninya dengan harga anjlok seperti itu. Jadi kalau ada permintaan yang lebih harganya tidak anjlok. Mengatasi persoalan tersebut diperlukan pengembangan industri pengolahan hasil produksi pertanian. “Agar meningkatkan permintaan saat musim panen, caranya harus dikembangkan industri-industri pengolahan,” kata dia.

Adanya industri pengolahan secara tidak langsung meningkatkan geliat ekonomi masyarakat. “Sehingga ada produk-produk olahan seperti cabai kering, cabai bubuk, sampai cabai sambal botol dengan skala-skala kecil yang bisa dikerjakan di pedesaan jadi senantiasa ada permintaan saat panen raya,” ujarnya.

“Itu semua akhirnya adalah investasi. Ini di luar core petani. Pemerintah dan Kementerian Pertanian harusnya ada dan hadir untuk menjawab persoalan itu. Dua-duanya perlu dikembangkan, jangan salah satu saja. Saat ini, jangankan dua-duanya; satu saja belum,” kata Hermanto Siregar getir.●(dd)

Exit mobile version