Opini  

Kejar Mimpi Judi Online

Oleh : Imam Faturrahim

Kalau betul datanya bahwa sudah Rp500-an triliun uang masyarakat di Tanah Air berputar di judi online, kayaknya ini bukan perkara main-main. Tidak lagi boleh dibilang iseng-iseng berhadiah. Pastinya, ada yang tak beres dengan sistem hukum dan keamanan di negeri ini. Jumlah uang yang super gede itu lebih dari cukup jika digunakan untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) yang lagi diimpikan Pak Jokowi. Untuk Ibu Kota seluas 256.100 hektar di pedalaman Kalimantan itu, Pak Presiden cuma butuh duit Rp446 triliun saja tapi menjaring investornya susah banget.

Jika larangan judi sudah dikeluarkan, tapi masih tetap marak, biasanya musabab mengacu pada dua hal, law enforcement yang kendor atau ada beking dari orang-orang hebat dibalik bandar judi. Lha bukankah, lokasinya bandarnya sulit terlacak, karena permainannya di dunia maya, bahkan ditengarai sang bandar bercokol di negeri lain. Kalau begitu law enforcement-nya yang kudu digeber, karena ini menyangkut masa depan anak bangsa.

Betapa tidak, coba saja simak data miris Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dari 2,76 juta pejudi online yang terdeteksi, sekitar 2,28 juta atau 79 persen adalah warga miskin, berpenghasilan rendah. Mereka rela merogoh koceknya untuk pertaruhan yang rata-rata di bawah transaksi Rp100 ribu, demi sebuah impian mejadi kaya lewat jalan pintas.

Masih mengacu pada data tersebut, para pihak yang disebut “golongan warga berpenghasilan rendah ini antara lain pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, pegawai swasta. Kerugian per tahun ditaksir mencapai Rp27 triliun. Jika ditotal dengan pertaruhan dana masyarakat di judi online sejak 2017-2022, jumlah mencapai lebih dari Rp52 triliun.

Mengapa kalangan berpenghasilan rendah sering kali menjadi sasaran empuk bandar judi? Karena memang kelompok ekonomi pas-pasan inilah yang selalu ingin punya mimpi mencapai kehidupan mapan. Kasus di Amerika Serikat (mengutip Morgan Housel dalam bukunya “The Psychology of Money”), sebagian besar orang miskin adalah konsumen tiket lotre (kupon judi berhadiah), rerata rumah tangga berpenghasilan rendah menghabiskan US$412 per tahun untuk beli tiket lotre. Ironisnya, sekitar 40 persen dari total warga AS tidak bisa menabung US$400 (setara Rp6 juta) setahun untuk dana darurat.

Mengutip platform Similarweb, per 2021-2022, AS merupakan negara terbesar ke 4 yang warganya gandrung judi online, rerata 31,2 juta orang per bulan. Bukannya tidak ada larangan karena Departemen Kehakiman sudah mengumumkan semua perjudian di internet adalah illegal.

Berbeda misalnya dengan tiga negara bebas judi yang penduduknya mayoritas miskin. Brazil adalah negara terbesar di dunia dengan pengunjung judi online mecapai 91,1 juta orang per bulan. Disusul Meksiko 48,7 juta per bulan dan Nigeria 42,5 juta per bulan. Indonesia di masa lalu di era 1980-an juga pernah melegalisasi perjudian melalui SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), Porkas (Pekan Olah Raga dan Ketangkasan) dan Nalo (National Lottery).

Ketika efek mudaratnya begitu dahsyat bagi kehancuran ekonomi masyarakat dan protes merebak di mana-maan, judi-judi legal tersebut pun ditutup. Namun candunya sudah menyusup ke benak orang-orang kecil, yang hidupnya pas-pasan yang melihat judi sebagai salah satu pintu menuju perubahan hidupnya.

By the way, bagaimana dengan kalangan the haves, orang-orang kaya? Tentu saja mereka juga para pemabuk judi, itu sebabnya ada negara seperti Makao yang menyediakan diri sebagai surga para penjudi, juga di Malaysia ada Genting Highland dan Singapura ada Marina Bay. Pejudi kelas menengah atas umumnya lebih rasional dimana mereka tahu kapan harus berhenti.

Tidak demikian halnya dengan kalangan miskin yang mempertaruhkan segalanya agar dapat mencapai impiannya menjadi kaya.

Penulis adalah pemerhati perkoperasian nasional, Pimpinan Paripurna Dekopin

Exit mobile version