Peluang News, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa 30 saksi dan ahli dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada 2015–2016 yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, ahli yang telah diperiksa terkait kasus tersebut berjumlah tiga orang.
Tim jaksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Selasa (3/12), ini memeriksa tujuh saksi.
Saksi-saksi yang diperiksa berasal dari kementerian, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Persero dan Sucofindo, serta pihak swasta.
Dari kementerian, lanjut Harli, saksi yang diperiksa berinisial YW selaku anggota Tim Kerja Pengembangan Kawasan Tanaman Tebu dan Pemanis Lain Kementerian Pertanian (Kementan) dan MM selaku Deputi Koordinasi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian.
Selain itu, penyidik memeriksa saksi berinisial SYL selaku Sekretaris Perusahaan PT PPI tahun 2016–2021 dan IRS selaku Senior Manager Pengembangan Komoditi PT PPI tahun 2016-2017.
Sedangkan saksi dari PT Sucofindo adalah ARA selaku karyawan PT Sucofindo pada jabatan Kabag Fasilitasi Perdagangan.
Lainnya yang diperiksa yakni dari pihak swasta, penyidik memeriksa EC selaku Manajer Impor PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, dan PT Andalan Furnindo, serta LM selaku Manajer Accounting PT Andalan Furnindo.
Harli menuturkan bahwa ketujuh saksi itu diperiksa untuk tersangka atas nama Tom Lembong dan kawan-kawan.
“Pemeriksaan saksi ini untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut,” kata Kapuspenkum Kejagung.
Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu, yaitu Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015–2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Kejagung mengatakan kasus ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antar kementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula sehingga tidak memerlukan impor gula.
Harli Siregar menambahkan,
persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.[]