Jakarta (Peluang) : Peningkatan kualitas kedelai lokal akan membantu meningkatkan daya saing.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Azizah Fauzi menegaskan meningkatkan produktivitas kedelai di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Karena selain penurunan luas lahan panen kedelai, rendahnya minat petani untuk menanam kedelai juga menjadi kendala.
Apalagi kedelai hingga saat ini masih dianggap sebagai tanaman penyeling. Karena dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan tanaman pangan lain, seperti jagung dan padi.
“Kedelai domestik masih menjadi tanaman selingan yang kurang menjadi pilihan petani sehingga produksinya rendah,” kata Azizah.
Padahal menurutnya, peningkatan kualitas kedelai lokal akan membantu meningkatkan daya saing komoditas ini, hingga akhirnya berdampak pada penyerapan.
“Kualitas yang lebih baik akan membuka peluang kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor, yang selama ini memang mendominasi kebutuhan nasional,” jelasnya.
Azizah menjelaskan, rendahnya daya saing kualitas kedelai lokal, baik secara harga maupun produktivitas menjadi permasalahan yang dihadapi komoditas ini.
Ada beberapa masalah pengelolaan kedelai di Indonesia, yaitu merosotnya produksi kedelai lokal setiap tahunnya. Berdasarkan data USDA, Indonesia menghasilkan 580.000 ton kedelai di tahun 2015 dan merosot 18 persen menjadi hanya 475.000 ton pada tahun 2020
Sedangkan berdasarkan data yang dihimpun CIPS melalui Food Monitor, penurunan ini berbanding terbalik dengan jumlah total konsumsi nasional pada 2020 yang meningkat sebesar 15 persen mencapai 3.283.000 juta ton dari total konsumsi 2015 berjumlah 2.854.000 juta ton.
Pemicu utamanya kemerosotan produksi. Di mana ada penurunan luas lahan pertanian kedelai hingga masih menggunakan cara konvensional dalam penanaman dan pembudidayaan yang menyebabkan mandeknya peningkatan kuantitas produksi.
“Luas panen kedelai dari tahun 2015-2021 juga menurun sebesar 20,45 persen, dari 440.000 hektar menjadi 350.000 hektar,” ujar Azizah.
Selanjutnya persoalan minimnya modernisasi pertanian kedelai yang menyebabkan rendahnya produktivitas.
Selain itu, petani kedelai di Indonesia dihadapkan pada ongkos produksi tidak sebanding dengan harga jualnya.
“Inkonsistensi ini menyebabkan input pertanian yang digunakan belum tentu bekerja dengan maksimal, sehingga kedelai yang ditanam tidak menghasilkan panen sebagaimana yang diharapkan,” kata Azizah.
Selain minat dan keuntungan yang rendah, menurutnya, petani kedelai juga dihadapkan pada tantangan iklim.
Secara umum iklim tropis di Indonesia tidak terlalu cocok untuk kedelai yang hanya tumbuh subur di daerah sub-tropis seperti di Amerika Serikat. Negara ini salah satu produsen terbesar dan eksportir utama kedelai ke Indonesia.
Terkait permasalahan tersebut, Azizah meminta para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, perlu memperhatikan tantangan pada rentannya rantai pasok kedelai impor. Serta perbaikan kuantitas dan kualitas produksi kedelai lokal.
“Fokus utama pemerintah sebaiknya adalah mempercepat proses revitalisasi dan penguatan rantai pasok kedelai dalam negeri,” katanya.
Azizah juga merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada kebutuhan konsumen dengan memastikan ketersediaan stok kedelai di pasar.
Di saat yang bersamaan, pemerintah perlu menjalankan program intensifikasi, yang tidak membutuhkan lahan tanam tambahan. Dengan memastikan akses petani kedelai kepada input pertanian.
“Selain itu adopsi teknologi pertanian dan memperbaiki cara tanam yang disesuaikan dengan karakteristik lahan,” ujarnya.
Adapun, soal rencana pengembangan kedelai GMO (Genetically Modified Organism) di Indonesia, Azizah mengatakan, konsumsi pangan hasil rekayasa genetika memang masih mengundang kontroversi.
Indonesia menurutnya, masih sulit untuk terlepas dari kedelai dan benih GMO karena sebagian besar kedelai masih berasal dari impor.