Oleh Dr. Dewi Tenty Septi Artiany
Akhir-akhir ini banyak lembaga negara menerbitkan SE, bahkan untuk hal-hal yang penting, yang seharusnya dimuat dalam bentuk perundang-undangan lain. Menteri-menteri juga kemudian latah menerbitkan Surat Edaran.
Apakah SE masuk kategori perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Urutannya UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda kabupaten/kota. Tidak ada penyebutan SE secara eksplisit.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan SE memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. “Masuk peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving),”
Pandangan Bayu Dwi Anggono ini sejalan dengan sejumlah doktrin yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie, HAS Natabaya, HM Laica Marzuki, dan Philipus M. Hadjon. Surat-surat edaran selalu mereka masukkan sebagai contoh peraturan kebijakan. “Beleidsregel dan pseudo wetgeving adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan,”
Jadi dapat disimpulkan bahwa
SE bukan produk perundang-undangan, melainkan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. Surat Edaran ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini juga mengemuka dalam dialog di Asosiasi Profesi Perkoperasian Indonesia (APPI) seperti disinggung mantan birokrat eselon I di Kemenkop UKM Neddy Rafinaldy yang menegaskan kedudukan SE hanya acuan atau pedoman teknis. Biasanya untuk unit kerja Eselon 1 terkait Permen yang mengatur kebijakan eksternal bidang kementrian yang bersangkutan. Kalau di instansinya, SE yang ada biasanya SE Deputi tentang pelaksanaan anggaran, program khusus/strategis unit bersangkutan. Jadi menurutnya memang agak aneh bisa-bisanya muncul SE Menkop No 1/2025 ini. Hal senada dikuatkan oleh Untung Tri Basuki bahwa SE itu setara dengan surat biasa. SE bukan atau tidak termasuk peraturan perundang undangan.Tidak mengikat secara umum dan tidak dapat dipaksakan berlakunya kepada masyarakat.
Dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, surat edaran tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah.
- Peraturan Presiden.
- Peraturan Daerah.
Surat edaran tidak termasuk dalam hirarki tersebut, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan peraturan perundang-undangan. Namun, surat edaran sering digunakan oleh pejabat atau instansi untuk memberikan penjelasan atau interpretasi terhadap peraturan yang sudah ada, atau sebagai instrumen untuk mengarahkan pelaksanaan tugas di lingkup internal.
Karena bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan, surat edaran tidak mengikat secara hukum dan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk tindakan yang bersifat mengatur atau memaksa.