JAKARTA-–Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengkritisi program bio disel sawit yang dicanangkan pemerintah sejak 2012 dengan tujuan mendongkrak harga minyak sawit (crude palm oil atau CPO). Kebijakan memang terasa dampaknya pada naiknya harga CPO pada 2015.
Namun menurut Sekjen SPKS Mansuestus Darto justru di tingkat petani kebijakan tersebut belum terasa. Bahkan dalam webinar Peran BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodisel di Jakarta, Kamis (10/6/21), dia mempertanyakan pihak yang diuntungkan oleh kebijakan ini.
“Faktanya petani yang berada dalam radius 5 kilometer tidak diperhatikan. Jadi klaim bahwa biodisel bisa membuat petani sejahtera belum terbukti,” ujar Darto.
Saat ini terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyediaan biodiesel yang di tetapkan Kementerian Energi Sumberdaya Mineal (ESDM) untuk menjalankan program B30.
Hal ini kata Darto, karena tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani. Padahal untuk menunjang program B30 tersebut, pemerintah melakukan pungutan ekspor CPO berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 191 Tahun 2020.
Pungutan tersebut menurut Darto justru berdampkan pada tergerusnya harga sawit di tingkat pekebun, serta mempengaruhi stabilitas bisnis sawit Indonesia.
“Pungutan yang semakin membesar, sementara tidak ada progresifitas program biodisel dan program untuk sawit rakyat,” ujar dia.
Untuk itu katanya, produksi CPO hasil petani sawit langsung dilibatkan atau diwajibkan pemerintah untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Pemerintah bisa menetapkan harga beli secara khusus antara petani dan industri biodiesel, melalui perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.
“Kami tidak minta langsung produksi petani diserap 100 persen untuk biodisel, tapi secara bertahap yang selanjutnya dinaikkan, sehingga memberikan dampak petani di lapangan,” tambahnya.
Darto menyarankan pemerintah perlu membuat membuat peta jalan pembangunan sawit rakyat yang mengikut sertakan asosiasi petani sawit dan seluruh stakeholder sawit lainnya agar bisa membuat petani sejahtera.
Sementara itu Elis Heviati, Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE ESDM mengatakan, pemerintah telah membuat grand strategi energi nasional, termasuk untuk mengurangi impor BBM. Pemerintah mengembangkan program biodisel dengan mempertahkan B30 dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN), baik biodisel atau biohidrokarbon.
“Pemerintah telah membuat kebijakan mandatori biofuel dan B30 sudah berjalan sejak Januari 2020,” katanya. Bahkan realisasi pemanfaatan biodisel untuk domestik tahun 2020 sebesar 8,4 juta kiloliter dan berdampak pada penghematan sebesar Rp38,31 triliun.
Dalam program biodisel ini, pemerintah memberikan insentif melalui dukungan dana perkebunan sawit. Pemerintah juga telah menyesuaikan regulasi guna mendukung kelancaran implementasi BBN yang sudah berjalan, maupun mengakomodir perkembangan BBN di atas 30 persen.
“Jadi program biodisel ini untuk mendukung ketahanan energi nasional,” pungkas Elis.