
Oleh: Edy Mulyadi
PeluangNews, Jakarta – Bencana datang seperti tamu yang tak diundang. Ia tidak mengetuk pintu. Ia menerobos. Di Sumatra, bukit runtuh. Air naik, tanah mengalirkan ratusan ribu kayu gelondongan. Rumah roboh, hancur. Dan, manusia berlari dengan doa yang tercecer.
Dalam situasi seperti itu, rakyat biasanya menengadah ke satu arah: negara. Lebih tepatnya, presiden. Bukan untuk pidato. Apalagi memperkenalkan Seskab kesayangannya. Juga bukan untuk seremoni. Rakyat berharap kepada presidennya hanya untuk satu hal sederhana. Tanda bahwa mereka tidak sendirian.
Namun yang terdengar justru sunyi. Sunyi yang aneh. Sunyi yang panjang. Sunyi yang membuat orang mulai bertanya-tanya: apakah derita harus sedemikian besar dulu agar dianggap layak disebut nasional? Atau, haruskah bencana juga menerjang keluarga para elite yang pelit empati itu dulu?
Duit melompong. Bantuan amat minim. Kalau pun ada, banyak terkendala. Sulitnya akses hingga membuat para pejabat melempar karung beras dari helikopter. Juga polah pencitraan yang membuat perut mual.
Uluran tangan internasional ditampik. Harga diri bangsa lebih tinggi, katanya. Kita mampu. APBN kita cukup, tepisnya lagi. Uluran tangan sesama warga justru berbuah cibiran elite. Bukannya berterima kasih warga saling bantu, orang-orang yang (konon) terhormat itu malah merasa tersaingi.
Arogansi yang direstui?
Di saat luka belum kering, sebuah aturan terbit. Perkap Nomor 10 Tahun 2025. Ia lahir tanpa rasa bersalah, tanpa keraguan. Lahir dengan arogansi penuh. Seolah hukum adalah benda lentur yang bisa dibengkokkan sesuai kebutuhan. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah meletakkan pagar. Tegas. Jelas. Aparat aktif tidak boleh duduk di jabatan sipil. Titik!
Tapi pagar itu dibuka dari dalam.
Yang membuat banyak orang tercekat bukan hanya keberanian Kapolri menerbitkan Perkap tersebut, tapi sikap presiden yang memilih menjadi penonton. Tidak ada koreksi. Tidak ada teguran. Apalagi pencopotan. Tak ada kalimat yang menunjukkan bahwa konstitusi masih dihormati. Presiden diam. Dan dalam politik, diam bukanlah netral. Diam adalah sikap.
Pertanyaan publik pun mengeras. Kenapa Kapolri bisa sepongah itu? Mengapa Prabowo seperti tak berkutik? Mungkinkah Sigit sudah kulo nuwun sebelumnya kepada Presiden? Dan, ini dia, jika begitu: Prabowo mengamini? Merestui?
Di titik inilah husnuzhon (berprasangka baik) mulai gugur satu per satu. Rontok. Stok prasangka baik yang sejak 20 Oktober 2024 dipaksa timbun, akhirnya tergerus. Terkuras. Habis? Bukan karena kebencian, tetapi karena akal sehat yang terus dipaksa maklum, akhirnya menyerah.
Kita terbiasa menganggap presiden sebagai pemegang kendali tertinggi. Panglima sipil. Sebagian malah yakin dia adalah Panglima Tertinggi TNI (juga Polri?). Penjaga konstitusi. Tetapi hari-hari ini, panggung kekuasaan tampak janggal. Yang bergerak malah polisi. Yang menetapkan arah justru Kapolri. Sementara presiden justru terlihat ragu untuk sekadar berkata: “Ini keliru.” Entah karena apa? Kompromi kah? Atau karena beban politik masa lalu?
Peringatan terbuka dan terakhir
Di tengah keganjilan yang amat tak elok itu, tiba-tiba saja Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bikin pernyataan menggelegar. Dia bilang, Prabowo bukan presiden. Tapi Listyo Sigit. Dan, keduanya dalam kendali penuh Jokowi.
Banyak yang menilai ini pernyataan keras. Sangat keras. Gatot sendiri melabelinya sebagai pernyataan terbuka dan terakhir kepada Prabowo. Secara tidak langsung mantan Panglima TNI itu menyebut negeri ini seakan dipimpin Kapolri, dengan bayang-bayang Jokowi masih mengungkung keduanya.
Bisa jadi ini memang keras. Tetapi sebaiknya Prabowo memaklumi. Karena pernyataan ini lahir disebabkan publik melihat pola. Melihat keberlanjutan kekuasaan yang tidak putus. Hanya berganti wajah. Ironinya, semua ini terjadi di negeri yang mengaku taat konstitusi.
Negeri ini pada 1998 pernah berdarah-darah menuntut reformasi. Poin penting tuntutan itu antara lain agar senjata kembali ke barak. Agar hukum berdiri di atas semua. Kini, hukum seperti lilin di ruang berangin. Mudah padam. Mudah dibentuk ulang.
Bisa jadi sebagian dari kita masih berusaha berprasangka baik. Mungkin presiden sedang berhitung. Barangkali Prabowo ingin menjaga stabilitas. Entah stabilitas apa dan siapa; negara atau kursinya? Mungkin juga tengah menunggu waktu yang tepat.
Tapi sejarah tidak pernah mencatat niat. Sejarah hanya merekam tindakan. Dan ketidakberanian bertindak, apalagi oleh seorang presiden, selalu tercatat sebagai kekalahan pertama. Kekalahan yang terus melahirkan kekalahan berikutnya. Bertubi-tubi.
Bencana mengajarkan satu hal: ketika negara lambat, rakyat yang menanggung derita. Ketika hukum dibengkokkan, rakyat yang menjadi korban jangka panjang. Dan ketika presiden memilih diam, kepercayaan rakyatlah yang runtuh perlahan. Tanpa suara, tanpa sirene. Stok husnuzhon, walau sudah disiapkan bergudang-gudang sekali pun, bakal habis terkuras.
Negeri ini tidak sedang kekurangan aturan. Ia kekurangan keberanian. Keberanian seorang Prabowo yang menjadi presiden.
Keberanian untuk berkata “tidak” pada pelanggaran. Keberanian untuk berdiri di hadapan Kapolri dan berkata: negara ini sipil, bukan negara seragam. Keberanian untuk bilang, “kamu saya pecat!”. Keberanian yang menunjukkan bahwa presiden bukan simbol, melainkan penjaga batas.
Jika diam terus dipelihara, maka jangan salahkan rakyat bila kelak mereka berhenti berharap. Karena husnuzhon yang dikuras terus-menerus, pada akhirnya akan berubah menjadi catatan dingin. Catatan berisi kekecewaan rakyat yang mendalam terhadap presidennya. Catatan tentang kecewa yang berubah jadi marah. Jadi amuk karena stok husnuzhon habis terkuras. []
(Penulis adalah wartawan senior)







