JEMBRANA—Sekalipun terlahir dari keluarga tidak mampu si kembar Gusti Ayu Putu Windi Asatri dan Gusti Ayu Kade Winda mempunyai semangat juang yang tinggi. Sang Ibu berprofesi sebagai penenun dan ayahnya buruh di perkebunan. Kedua orangtua mereka membesarkan dengan penuh optimis dan penuh kasih sayang.
Bakat ibu menenun kemudian mengalir dalam darah si kembar kelahiran 1 Oktober 1988 ini.
“Tepat pada usia saya ke enam, ibu saya sudah memberikan tanggung jawab kepada saya untuk menyelesaikan tenunan selendang, karena hanya dari menyelesaikan tenunan kami dapat meneruskan sekolah. Selendang itu saya jual dengan harga Rp1000 per helai,” kenang Windi kepada Peluang (Senin, 23/7)
Windi dan Winda terus menenun sambil bersekolah hingga bangku SMA. Ketika teman-temannya berangkat sekolah dengan naik sepeda motor, si kembar pulang pergi dengan berjalan kaki. Begitu pulang keduanya menenun dan hasil jualannya untuk membeli perlengkapan sekolah.
Setamat SMA Windi melamar di salah satu koperasi di daerah Jembrana bernama BB Agung sebagai tenaga rekapitulasi dengan gaji Rp400.000. Windi memberanikan diri untuk mencicil sepeda motor dengan kredit Rp385.000 per bulan. Windi juga pernah bekerja di beberapa perusahaan keuangan.
“Suatu ketika saya membaca koran ada sekolah penerbangan dan membuat saya tertarik. Lalu saya memberi tahu orangtua. Sayang orangtua tidak mempunyai uang, namun pertolongan dari kakek saya yang memberikan pinjaman sertifikat dana untuk jaminan mendapat biaya melanjutkan pendidikan,” tutur Windi.
Dengan pinjaman sebesar Rp3 juta dengan bunga 10 persen per bulan, Windi berangkat ke Denpasar dan mendaftar ke sekolah tersebut. Dia lulus tes dan setelah tiga bulan dapat promosi bekerja di bandara dan trainning di Maskapai Lion Air.
Bekerja di bandara mengubah nasib Windi, dia berhenti melanjtukan pendidikan tetapi mendapat pekerjaan berpindah dari satu maskapai ke maskapai lainnya untuk mendapat penghasilan.
Ketika sudah merasa mapan Windi menikah, sayangnya ketika hamil ia mengalami musibah yang membuatnya berhenti bekerja. Pantang berputus asa Windi kemudian kembali menenun bersama ibunya.
Mulanya ia menjual tenun kepada bos pengepul, namun sayangnya tidak cocok dengan sistem kerjanya yang mereka lihat tidak pas dengan hak penenun. Windi keluar.
Bersama para tamu asing-Foto: Dokumentasi pribadi.“Dari situlah berdiri usaha Kembar Sari dan kami mencoba hidup mandiri. Saya memasarkan dengan menggunakan media sosial,” imbuh Windi.
Mereka kemudian meminjam dari BRI Rp25 juta untuk mendirikan Kembar Sari tiga tahun yang lalu. Rupanya kerja keras dia tercium oleh Pemda, yang segera melakukan survei. Usaha mereka mulai berkembang setelah mendapat bimbingan dari kelompok UKM setempat.
Para wisatawan dari luar negeri datang ke tempat mereka untuk belajar. Pesanan pun mulai berdatangan. Berkat bantuan dari Dinas Koperasi dan UKM, Kembar Sari mendapat kesempatan untuk pameran di Jakarta.
Kembar Sari berkembang bukan saja menjadi sebuah UKM, tetapi juga mengajarkan beberapa anak untuk menenun dengan misi agar tenun Bali bisa lestari. Omzet tertinggi yang bisa mereka raup satu bulan Rp35 juta.
Si Kembar Wini dan Winda-Foto: Dokumentasi Pribadi.Windi berharap suatu hari kelak mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai. Gunanya untuk bisa mengembangkan tenun dan sekaligus mendidik lebih banyak anak sebagai pelestari tenun. Sayangnya, dia juga mempunyai penghasilan pas-pasan.
“Saya juga mengajarkan anak-anak menari dan saya juga ingin buat usaha membuat tas,” tutupnya penuh semangat (Irvan Sjafari)