JAKARTA—Para pengusaha melihat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021, sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, Omnibus Law sebagai regulasi penetapan UMP sudah sangat moderat dan sangat ilmiah hitungannya.
Penetapan UMP tidak hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tetapi juga kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan kita.
Dalam melakukan penetapan dipakai variabel jumlah rata-rata rumah tangga, rata-rata konsumsi rumah tangga, rata-rata rumah tangga yang sudah bekerja. Datanya dari lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan riset, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS).
Kalau naiknya rendah hal itu mencerminkan kondisi ekonomi saat ini. Ekonomi Indonesia masih merangkak dan banyak sektor yang sekarat bahkan tumbang.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta Masa Bakti 2019-2024 Sarman Simanjorang dalam wawancaranya dengan Peluang menanggapi sejumlah demo yang dilakukan buruh yang memprotes kenaikan UMP 2022 di sejumlah daerah yang dinilai sangat kecil, Kamis (25/11/21).
Menurut pria kelahiran Sumbul, Sumatera Utara, 14 Juni 1965 ini pengusaha membutuhkan kepastian, hal itu sudah dijawab pemerintah lewat PP Nomor 78 Tahun 2015, sebelum UU Cipta Kerja disahkan.
“Kalau kita bicara soal upah menyangkut kepentingan kedua belah pihak, pengusaha maupun pekerja. Di sini nggak ada yang lebih kuat. Keduanya adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Pengusaha tanpa pekerja tidak jalan. Pekerja tanpa pengusaha juga tidak jalan,” ujar Sarman.
Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI ini menepis anggapan rekan-rekannya dari serikat buruh bahwa regulasi ini lebih memihak pengusaha. Meskipun seluruh regulasi apalagi yang menyangkut UMP harus sesuai kemampuan dunia usaha.
Siapa Yang Mentukan dan Siapa Yang Membayar.
Seluk-belum persoalan yang terkait UMP sudah dikenal Sarman, karena sudah sepuluh tahun menjadi anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta. Dia mengaku merasakan capeknya menentukan UMP sebelum PP No.78 Tahun 2015 ini.
Untuk menentukan UMP terlebih dhaulu melakukan survei kebutuhan hidup layak. Sesudah itu baru Dewan Pengupahan melakukan sidang lagi menetapkan KHL tahunan.
“Tetapi dalam praktik menetapkan UMP ada unsur-unsur negosiasi, ada unsur politiknya dan segala macam. Itu membuat ketidakpastian bagi dunia usaha, karena apa, kadang-kadang naiknya 15%, 20% dan 25%,” ungkap Sarman.
Dia menegaskan, sebelum ada PP 78 Tahun 2015 penerapan UMP itu sangat kental dengan nuansa politik. Di sana bargaining kepala daerah yang menjadi UMP dalam janji kampanye.
“Sekarang saya hanya mempertanyakan satu hal, siapa yang menetapkan, siapa yang bayar. Bupati mungkin akan seenaknya saja menetapkan naik 30% atau 40% di kabupatennya, tetapi yang bayar siapa,” pungkasnya (van/irm).







