hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Ragam  

Jurus Keluar Dari Middle Income Trap

Reindustrialisasi merupakan solusi untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi. Harapan itu masih ada dengan meningkatnya penyaluran kredit perbankan ke sektor manufaktur. Kini, tinggal menanti kebijakan Pemerintah untuk memprioritaskan industri lokal daripada mengandalkan impor.

Salah satu dampak buruk dari deindustrialisasi yang tengah berlangsung adalah terus melebarnya defisit neraca perdagangan. Data BPS per Januari 2019, defisit neraca perdagangan sebesar US$1,16 miliar atau yang terdalam sejak 2014. Alih-alih menjadi negara berpenghasilan tinggi, Indonesia kini terancam dalam perangkap negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

Bukan hal mudahmemang untuk keluar dari “jebakan batman” tersebut. Merujuk data World Bank 2012, dari 101 negara middle income pada 1960, hanya 13 negara yang berhasil mencapai penghasilan tinggi dan sebanyak 88 negara tidak bisa keluar. Contoh negara yang berhasil keluar dari jebakan tesebut adalah Korea Selatan. Negeri Ginseng itu  membutuhkan waktu 15 tahun agar bisa keluar dengan membangun sektor industri atau manufaktur.

Sekadar informasi, klasifikasi negara berpenghasilan menengah merujuk pada kriteria dari World Bank  (WB) yang terus diperbarui. Indonesia telah masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah sejak 1985. Dalam kriteria terbaru Bank Dunia yang terbit pada 1 Juli 2017, untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi syaratnya harus memiliki Penghasilan Nasional Bruto (GNI) per kapita di atas US$ 12.235. GNI per kapita Indonesia pada 2017 tercatat sebesar US$3.540, jauh dibawah rata-rata GNI per kapita dunia sebesar US$10.371,50.

Dalam hitungan Bank Indonesia,  misi   Indonesia keluar dari middle income trap merupakan hal  yang sangat berat, jika tidak ingin dikatakan mustahil. Sebab, hampir seluruh pakar ekonomi menyebut untuk  bisa keluar dari jebakan dibutuhkan pertumbuhan ekonomi minimal 6%. Itu pun membutuhkan waktu 20 tahun dari sekarang atau sekitar 2040an.

Mengutip keterangan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo beberapa waktu lalu, untuk pendapatan per kapita Indonesia bisa tumbuh di atas US$ 10.400 pada 2045 mendatang. Hingga akhir tahun lalu, pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$3.927. Agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap, maka transaksi berjalan harus surplus. Padahal selama ini defisit karena sektor manufaktur yang terus merosot.

Sementara Bapennas meyakini dengan pertumbuhan ekonomi hanya 5,1% pada tahun 2038 Indonesia akan bebas dari jebakan penghasilan menengah.  Dengan sumber daya yang dimiliki, Indonesia akan menjadi negara berpenghasilan tinggi.

Estimasi berbeda diungkapkan Bhima Yudhistira, Ekonom INDEF. Ia memprediksikan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5%, Indonesia baru akan keluar dari midle income trap pada 2042. Menurutnya, solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tergantung kemajuan di sektor industri manufaktur. Sebab, kontribusi industri manufaktur mencapai 20% dari produk domestik bruto (PDB) dan 14,1% dari total serapan tenaga kerja.

Sementara itu, menurut Menteri Keuangan  Sri Mulyani Indrawati, agar terbebas dari middle income trap Indonesia hanya memiliki waktu hingga 2027. Untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, maka pertumbuhan pendapatan per kapita harus mencapai rata-rata 5,42% per tahun. Bila pertumbuhan per kapita rata-rata Indonesia hanya 3,5% per tahun, maka Indonesia diperkirakan akan keluar dari perangkap pendapatan menengah pada tahun 2035.

Oleh karena itu, diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif dengan faktor kunci adalah produktivitas sumber daya manusia, infrastruktur yang andal, jaring pengaman sosial yang kuat untuk melindungi mereka yang rentan dan miskin, serta institusi publik yang efisien dan bersih dan sektor swasta yang tumbuh sehat dan kompetitif.

Strategi Pemerintah Atasi Middle Income Trap

Pemerintah mengklaim optimis Indonesia bisa keluar dari jebakan pendapatan  menengah. Menurut Menkeu Sri Mulyani, ada empat faktor yang bisa dioptimalkan untuk mencapai misi tersebut. Pertama, adalah bonus demografi. Terdapat koridor waktu sekitar 30 tahun ketika rasio ketergantungan mencapai tingkat minimum. Pada 2013 sampai dengan tahun 2020, populasi angkatan kerja diperkirakan akan bertambah sebesar 14,8 juta orang. Angkatan kerja merupakan aset utama sebuah bangsa.

Dengan jumlah angkatan kerja yang berpendidikan dan mahir teknologi informasi merupakan aset potensial untuk memacu peningkatan produktivitas. Meski demikian, angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan sekolah dasar dan kurangnya skill.

Bonus demograsi tersebut perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM. Mulai dari meningkatkan kualitas pendidikan, keahlian hingga kesehatan penduduk.

Ketiga membenahi birokrasi menjadi lebih fleksibel namun tetap ketat mengawasi segala penyelewengan yang mungkin dilakukan. Dalam hal ini, Indonesia perlu belajar dari beberapa negara yang berhasil keluar dari middle income seperti Hong Kong, Singapura, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Negara-negara ini memiliki instansi yang birokrasinya yang teratur dan bersih.

Keempat, transparansi kebijakan dan membuka diri pada kolaborasi dengan negara lain. Sebab, negara terbuka itu disiplin sehingga bisa lebih transparan.

 

Dukungan Lembaga Pembiayaan

Untuk menggerakkan sektor manufaktur dukungan dari lembaga perbankan sangat dibutuhkan. Data OJK 2018, kredit perbankan untuk industri pengolahan sebesar  Rp899,09 triliun, atau baru 17% dari total penyaluran kredit senilai Rp5.358,01 triliun.  Meski demikian, trennya dalam 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan.

Beberapa bank skala besar juga menyatakan komitmennya untuk menyalurkan kredit ke sektor manufaktur. Hal itu tidak lepas dari upaya pemerintah mendorong industri ini agar tumbuh di atas 5% untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2019 sebesar 5,3%. Selain itu, berkaca dari pengalaman perbankan pada tahun lalu yang berhasil menyalurkan kredit manufaktur.

Sepanjang 2018, Bank BCA menyalurkan kredit pada sektor manufaktur sekitar Rp125 triliun, meningkat sekitar 20% year on year (yoy). Sektor ini menyumbang lebih dari 2% terhadap total penyaluran kredit Bank BCA dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) industri manufaktur sebesar 0,3%.

Sementara itu, Bank BNI mencatatkan penyaluran kredit ke sektor manufaktur sebesar Rp98,03 triliun atau tumbuh 32,0% yoy dibandingkan 2017 yang mencapai Rp 82,74 triliun. Kredit manufaktur menyumbang porsi 19,1% terhadap total penyaluran kredit BNI tahun lalu yang tercatat sebesar Rp 512,78 triliun atau tumbuh 16,2% dari 2017 yang tercatat Rp441,31 triliun.

Sedangkan PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk (CCB Indonesia), merealisasikan pembiayaan di sektor manufaktur pada 2018 sebesar Rp1,9 triliun atau 17% dari total pembiayaan. Dimana yang tertinggi adalah pembiayaan di industri pengolahan bahan konstruksi.

Ketertarikan perbankan terhadap sektor manufaktur perlu terus dijaga momentumnya oleh Pemerintah dengan memberi kepastian hukum di bidang investasi dan berbagai insentif lainnya. Sebab, sektor ini strategis agar Indonesia terlepas dari perangkap middle income trap. (Kur).

pasang iklan di sini