
Oleh: Edy Mulyadi
PERTEMUAN dua jam di Kertanegara antara mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Presiden Prabowo bukan sekadar agenda silaturahmi. Terlalu panjang durasinya. Terlalu tertutup pertemuannya. Terlalu naif untuk disebut silaturahmi biasa. Publik cerdas pun cepat menangkap sinyal: Jokowi tengah mencari perlindungan.
Dia datang bukan sebagai mantan presiden yang ingin berbagi pandangan kenegaraan. Tapi sebagai sosok yang makin terdesak oleh opini dan tuntutan publik.
Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang desakan agar “Jokowi diadili” makin kencang. Isu ijazah palsu, penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan bisnis keluarga, hingga kelanjutan status Gibran yang dianggap tidak sah sebagai wapres. Semua menerjang bagai tsunami yang mengerikan. Semuanya menumpuk jadi beban politik yang serius. Jokowi mungkin sadar: kekuasaan sudah berpindah. Sebaliknya jaringan lawan tak pernah tidur. Maka Kertanegara jadi tempat paling logis untuk berlindung.
Masalahnya, bagi Prabowo pertemuan itu bukan tanpa konsekuensi. Dia kini berada di simpang jalan antara hukum dan loyalitas. Antara stabilitas dan keadilan. Jika membiarkan hukum berjalan normal, risiko politiknya luar biasa. Tapi bila Prabowo mengabaikan tuntutan rakyat dengan alasan stabilitas, citra pemerintahan bersih dan kuat yang baru dia bangun bisa runtuh seketika.
Yang dihadapi Prabowo bukan sekadar satu orang bernama Jokowi. Lelaki yang kini disergap penyakit kulit serius itu punya jaringan kepentingan yang dibentuknya selama sepuluh tahun terakhir. Mereka adalah para loyalis di kabinet, aparat tentara dan polisi, ketum dan elite parpol, parlemen, bahkan lingkaran bisnis dan media. Bila satu mata rantai disentuh, efek domino bisa mengguncang fondasi kekuasaan. Mereka tak akan tinggal diam. Gerombolan ini bisa menggerakkan opini publik, memanfaatkan media, menahan kebijakan. Bahkan bisa menggoyang kursi kekuasaan lewat operasi politik terselubung.
Karena itu, Prabowo dihadapkan pada pilihan rumit. Dia tahu betul, rakyat menunggu pembuktian pemerintahannya berbeda dengan pendahulunya. Tapi Prabowo juga sadar, bahwa negara tidak bisa terus-menerus diliputi konflik antar elite. Apalagi jika benturan itu berubah menjadi perang opini yang menyeret aparat dan memecah dukungan politik di bawahnya.
Prabowo Sedang Baca Peta
Menariknya, sehari setelah bertemu Jokowi, Prabowo langsung memanggil sejumlah menteri, termasuk Mendikbudristek. Bagi publik, langkah ini bukan kebetulan. Banyak yang membaca bahwa pembicaraan dua jam di Kertanegara hampir pasti menyentuh isu ijazah palsu dan pendidikan Gibran yang morat-marit. Artinya, bisa jadi Prabowo sedang melakukan pemetaan. Dia ingin tahu: sejauh mana masalah ini bisa diurai tanpa meledakkan situasi politik.
Tapi politik bukan matematika yang eksak. Ia bergerak di ruang abu-abu. Kalkulasi rasional sering kali kalah oleh kepentingan. Dalam sejarah politik Indonesia, setiap kali kekuasaan berganti, konflik elite selalu menjadi hantu laten. Dari Sukarno–Soeharto, Habibie–Gus Dur-Megawati, hingga SBY–Jokowi, semuanya punya benang merah yang sama. Transisi kekuasaan tak pernah tuntas tanpa gesekan. Prabowo tentu tak ingin masuk dalam daftar yang sama.
Namun bahaya sesungguhnya bukan pada benturan elite itu sendiri, melainkan dampak sistemiknya. Begitu pemerintah terpecah fokus antara menjaga stabilitas dan meredam intrik internal, arah pembangunan bisa kabur. Aparat menjadi bingung dan gamang dalam bertindak. Pejabat bermain aman sambil melihat arah angin. Yang paling celaka, investor menahan diri. Bahkan bukan tak mungkin mereka angkat kaki alias kabur. Negara kehilangan momentum. Dalam situasi semacam itu, oligarki lama justru makin kuat. Pesta pora menjarah SDA makin brutal. Mereka tahu presiden sedang sibuk menjaga keseimbangan politik.
Lalu apa opsi terbaik bagi Prabowo? Dia harus menegakkan hukum tanpa kompromi. Tapi tentu saja dengan strategi komunikasi yang cerdas. Bukan dengan gempita penangkapan. Harus lewat mekanisme yang sistematis, transparan, dan berbasis bukti. Jangan sampai publik membaca langkah penegakan hukum semata sebagai balas dendam politik. Sebaliknya, Prabowo perlu menunjukkan sekaligus memastikan, bahwa ini soal penegakan keadilan. Bukan persekusi kekuasaan.
Prabowo juga perlu membangun benteng dukungan publik. Sebab kekuatan sejati presiden bukan pada jaringan politik, tapi pada kepercayaan rakyat. Dia harus membangun legitimasi moral. Jika rakyat yakin bahwa langkahnya adil dan tulus, tekanan elite akan kehilangan daya gigit. Inilah yang dulu dilakukan Soeharto di awal kekuasaan. Tapi ini pula yang dilewatkan oleh Jokowi di ujung pemerintahannya.
Akhirnya, sejarah akan menilai. Bila Prabowo memilih diam demi stabilitas, dia hanya akan memperpanjang tradisi impunitas yang membuat bangsa ini terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan. Sebaliknya, jika berani menegakkan hukum dengan adil, termasuk terhadap pendahulunya sendiri, ending-nya pasti bakal berbeda. Prabowo akan dikenang sebagai presiden yang menutup bab kompromi lama, sekaligus membuka era baru Indonesia yang lebih berdaulat dan bermartabat.
Karena sesungguhnya, bahaya terbesar bukan konflik elite. Tapi ketakutan seorang pemimpin untuk menegakkan kebenaran. []
(Penulis adalah wartawan senior)