hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Jokowi dan Bloomberg: Kapitalisme Global Sedang Menertawakan Kita

Mantan Presiden Joko Widodo/Dok. Tangkapan Layar-Hawa

Oleh: Edy Mulyadi

PENUNJUKAN Joko Widodo atau Jokowi sebagai anggota Advisory Board Bloomberg New Economy sontak jadi berita. Banyak media arus utama menyorotinya dengan nada kagum. Seolah-olah inilah bukti pengakuan dunia terhadap ‘prestasi’ Jokowi selama dua periode menjadi Presiden RI. Pertanyaannya: benarkah begitu? Atau justru ada motif lain yang lebih dalam, lebih kelam?

Kalau ditelaah, sesungguhnya agak aneh bila Bloomberg merekrut Jokowi. Dari sisi kapasitas, Jokowi jelas bukan ahli ekonomi. Bahasa Inggrisnya belepotan. Wawasan internasionalnya pun pas-pasan. Prestasi akademik? Lebih parah lagi. Ijazah S1-nya diduga palsu. Jadi, kalau ukurannya kompetensi, mustahil Bloomberg kekurangan stok ekonom kelas dunia. Di luar sana bertebaran ekonom top, teknokrat ulung, dan mantan kepala negara dengan reputasi akademik mentereng. Lalu, mengapa Jokowi?

Untuk konteks, baiknya kita berkenalan dulu dengan Bloomberg New Economy. Lembaga ini lahir dari inisiatif Michael Bloomberg, taipan media sekaligus mantan Wali Kota New York. Dia membangun sebuah forum elite global yang mempertemukan pengusaha, investor, politikus, dan akademisi untuk membicarakan arah ekonomi dunia. Tepatnya mengatur ekonomi global sesuai kepentingan mereka. Anggotanya terdiri atas pemimpin perusahaan multinasional, pejabat tinggi negara, serta figur-figur strategis dari berbagai belahan dunia.

Singkatnya, ini adalah “klub eksklusif” para pengendali kapitalisme global. Jadi, sangat jelas: penunjukan keanggotaan tidak melulu didasarkan pada kapasitas akademik atau keilmuan. Mereka justru direkrut lebih pada nilai politis dan manfaat strategis bagi jejaring kapital.

Asumsi yang Dipaksakan

Kenapa Jokowi direkrut? Ada beberapa analisis yang berseliweran. Pertama, dia dipandang sebagai figur simbolik dari Asia Tenggara. Ikon negara berkembang yang “sukses” membawa stabilitas. Kedua, Jokowi dianggap bisa membuka pintu bagi kepentingan kapital global di Indonesia, negeri dengan sumber daya alam luar biasa. Ketiga, penunjukan itu sekadar bentuk balas jasa atas kiprah Jokowi selama sepuluh tahun mengistimewakan investor asing, oligarki, dan pasar global.

Namun, mari kita patahkan satu per satu. Jokowi sebagai simbol Asia Tenggara? Rasanya terlalu jauh. Citra Jokowi di dalam negeri justru terpuruk. Dia membiarkan korupsi merajalela, menumpuk utang ribuan triliun berbunga sangat tinggi. Jokowi juga membiarkan harga pangan naik dan menelantarkan petani. Bekas tukang kayu asal Solo itu juga dinilai menggadaikan kedaulatan bangsa kepada asing. Simbol macam apa yang dipilih Bloomberg?

Jokowi sebagai pintu akses ke sumber daya Indonesia? Lagi-lagi, terlalu dipaksakan. Jokowi memang sempat memberi karpet merah kepada investor asing. Dia merancang UU Cipta Kerja yang super pro-investor. Memuluskan proyek IKN yang sangat sarat kepentingan kapital. Membiarkan oligarki menguasai tambang dan hutan. Tetapi, masa jabatan Jokowi sudah habis. Sekarang dia bukan siapa-siapa lagi. Kontrolnya terhadap kebijakan dalam negeri sudah lepas. Jadi, logika menjadikan Jokowi sebagai ‘pintu gerbang’ terasa basi.

Tinggal satu asumsi yang tampak paling masuk akal: Bloomberg memberi Jokowi kursi itu semata-mata balas jasa. Selama sepuluh tahun, Jokowi sudah begitu ramah terhadap kapitalisme global. Dia menerbitkan berbagai regulasi untuk kepentingan investor, bukan rakyat. Finalis koruptor dunia versi OCCRP ini doyan menyingkirkan oposisi, melanggengkan oligarki, dan membuka keran SDA untuk asing. Semua itu tentu sangat menguntungkan jaringan kapital global.

Wajah Asli Kapitalisme Global

Tetapi, sekali lagi, untuk apa Bloomberg repot-repot memberi balas jasa kepada sosok yang justru kini dihujat rakyatnya sendiri? Jokowi keluar dari Istana dengan warisan penuh noda. Dia gagal mewujudkan janji-janji kampanye.
Dia meninggalkan rakyat dalam pusaran krisis pangan, energi, dan lapangan kerja. Jokowi menodai demokrasi dengan meloloskan Gibran sebagai wakil presiden melalui rekayasa Mahkamah Konstitusi.

Dalam pandangan publik, Jokowi lebih layak dicatat sebagai presiden dengan rekam jejak penuh kejahatan politik dan ekonomi. Jadi, kalau Bloomberg masih mau menaruh Jokowi dalam barisan penasihat, itu justru memperlihatkan wajah asli kapitalisme global. Sistem ini memang tidak peduli dengan reputasi moral. Yang penting, ada jejak pengabdian kepada pasar. Kepada modal. Kepada kepentingan segelintir elite global.

Karena itu, penunjukan Jokowi sebaiknya tidak perlu dibanggakan rakyat Indonesia. Justru sebaliknya, inilah cermin betapa kentalnya hubungan mesra antara rezim Jokowi dengan kapitalisme global. Bloomberg tidak sedang mencari pemikir jenius atau negarawan ulung. Bloomberg hanya sedang merangkul salah satu ‘mantan petugas’ mereka yang sudah berjasa menjaga kepentingan kapital selama satu dekade terakhir.

Jadi, apa arti Jokowi masuk ke Advisory Board Bloomberg New Economy? Bukan prestise, bukan kebanggaan. Dia hanyalah tanda bahwa kapitalisme global sedang menertawakan kita. Mereka sedang memamerkan: lihat, bahkan pemimpin yang dicaci maki rakyatnya pun tetap bisa kami parkir di lingkaran elite global.

Dan itulah wajah asli kapitalisme: sistem busuk yang hanya menghargai kepatuhan penguasa kepada pemilik modal. Bukan keberpihakan pada rakyat. []

[Penulis adalah wartawan senior]

pasang iklan di sini