hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Jelang HUT RI: Bendera One Piece Marak, Penguasa Pun Panik

Ilustrasi | ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/hp.

PeluangNews, Jakarta – Jelang peringatan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan RI pada 17 Agustus, bendera topi jerami dari anime One Piece berkibar di berbagai tempat. Pemerintah pun terhenyak. Reaksi keras datang dari Menko Polhukam Budi Gunawan yang menyebut ini sebagai provokasi.

Katanya, hal itu dapat meruntuhkan wibawa Merah Putih. Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad bahkan menduga ada kekuatan yang sedang memainkan ini untuk memecah bangsa.

Pertanyaannya: sebegitu bahayakah selembar kain bergambar topi jerami dengan tulang bersilang? Apakah ekspresi kekecewaan warga terhadap pengelola negara sudah sedemikian haram, sehingga harus dicurigai sebagai upaya makar?

Mari kita jujur. Apa yang sedang dilakukan rakyat? Yang dikibarkan cuma simbol bajak laut, fiksi pula. Bukan bendera negara asing apalagi lambang terorisme. Ini cuma ekspresi simbolik. Simbol yang (terpaksa) digunakan karena tidak ada lagi saluran kritik yang sehat dan efektif di negara ini.

Dulu rakyat bisa berharap pada DPR sebagai lembaga pengawas. Penyambung lidah mereka. Sekarang,  DPR dianggap telah berubah menjadi pelengkap penderitaan rakyat. Mahasiswa bahkan memelesetkan jadi Dewan Penipu Rakyat. Ini karena DPR lebih sering jadi tukang stempel kebijakan penguasa ketimbang mengawasi.

Lembaga-lembaga negara yang mestinya jadi benteng pengaman demokrasi satu per satu dikerdilkan. KPK, MA, MK, Ombudsman, dan BPK dilemahkan, atau dibajak dari dalam. Orang-orang yang mengisi bermacam lembaga terhormat itu bertingkah bak pelawak yang sama sekali tak lucu. Memuakkan!

Suara-suara kritis dibungkam. Aksi demonstrasi dibatasi. Media dibeli, buzzer dikerahkan. UU dipakai sebagai alat persekusi. Jalur hukum? Dipolitisasi jadi alat kriminalisasi pihak yang ditarget. Jalur politik? Dipenuhi boneka. Rakyat benar-benar seperti orang bisu di tengah pasar kebohongan. Maka mereka bersuara lewat simbol. Lewat bendera. Lewat topi jerami.

Yang bikin heran sekaligus menyedihkan: ketika rakyat pakai simbol bajak laut dalam konteks damai, justru negara bereaksi panik. Padahal belum ada ajakan makar. Tak ada demonstrasi rusuh. Tak ada panggilan kekerasan. Cuma kibaran kain simbolik.

Tapi respons pejabat negara malah keras: provokasi! ancaman! koordinasi untuk pecah belah bangsa! Berlebihan. Lebay!

Maaf, siapa yang sebenarnya sedang memecah belah? Rakyat yang berekspresi karena putus asa? Atau penguasa yang menutup semua pintu kritik dan memperlakukan rakyat bak musuh negara?

Bukankah justru para pejabat publik, yang melemahkan negara? Korupsi gila-gilaan! Kebohongan yang terus dipelihara. Perampokan sumber daya alam ugal-ugalan. Bancakan BUMN dan BUMD bagi para penjilat dan tim hore.
Mau daftar lain? Masih ada. Masih panjang. Teramat panjang. Tapi, apa masih berguna buat para elite?

*Ada Kekuatan yang Memainkan?*

Tudingan tentang adanya kekuatan di balik pengibaran bendera One Piece jelas membuka tafsir liar. Tapi kita tahu, elite kekuasaan selalu punya kecenderungan paranoid ketika rakyat mulai cerdas secara simbolik.

Mereka tidak siap dikritik. Maka narasi “ada kekuatan asing”, “ada yang mengatur ini”, “ini bagian dari perang hibrida”, dan sejenisnya, disemburkan untuk menutupi kelemahan mereka sendiri. Untuk menutupi kejahatan mereka.

Yang lucu, justru rakyat kini membalik narasi lama para penguasa. Dahulu mereka yang sering teriak anti-asing, anti-imperialis, nasionalis sejati. Sekarang mereka yang menyerahkan SDA ke korporasi asing, cetak utang seperti orang kesurupan. Bahkan menyerahkan data pribadi rakyat ke Amerika. Jadi, siapa yang antek asing sesungguhnya?

Lalu ketika rakyat pakai simbol fiksi bajak laut Jepang, mereka berteriak: ini ancaman bangsa! Apa ini bukan lelucon yang menyedihkan?

Yang dikibarkan itu bukan lambang PKI yang TAP MPRS XXV/1966 belum dicabut. Bukan logo (kalau ada) HTI yang organisasinya dilarang. Bukan pula panji kelompok teroris. Itu cuma simbol imajinatif bajak laut, fiksi pula. Yang oleh rakyat diartikan sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakadilan dan oligarki.

Simbol yang muncul karena rakyat merasa dipunggungi. Karena merasa hidupnya dikendalikan para ‘perampok berdasi’. Simbol yang menjadi bahasa protes.

Kalau ini pun dilarang, lalu rakyat harus menyampaikan kritik lewat apa? Apakah rakyat harus kembali turun ke jalan? Menduduki gedung DPR/MPR seperti pada 1998 supaya suara mereka didengar?

Kalau pemerintah peka, mestinya ini jadi momen refleksi, introspeksi. Bukan malah represif. Ketika rakyat menggunakan anime Jepang untuk menyampaikan perasaan mereka, itu tanda bahwa negara telah gagal menjadi ruang aman bagi kritik dan suara hati nurani.

Solusinya bukan penangkapan. Bukan intimidasi. Bukan pencitraan nasionalisme murahan. Tapi: akui kesalahan. Bersihkan negara dari korupsi dan perampok uang rakyat. Hentikan bermacam pajak ugal-ugalan yang mencekik rakyat. Hentikan gaya hidup elite yang menjijikkan. Berikan ruang demokrasi yang sehat.

Karena kalau tidak, jangan salahkan rakyat kalau ke depan mereka tak lagi pakai simbol anime. Rakyat turun ke jalan dengan marah yang nyata. []

Penulis: Edy Mulyadi, Wartawan Senior, tinggal di Jakarta

pasang iklan di sini