SUDAH menjadi gurauan yang lazim didengar, kaum lelaki di Singapura mengidap penyakit 3K, yaitu kia su (takut kalah/rugi), kia see (takut mati), dan kia bo (takut istri). Kedengarannya seperti sebuah gurauan biasa, tetapi ada juga kebenarannya. Bahkan terbitan sebuah buku yang berjudul Mr. Kia Su mampu menggaet banyak pembaca di negeri itu.
Saya melihat sendiri bagaimana orang Singapura berjuang untuk mengangkat negara mereka dari “sebuah kota yang tandus” menjadi salah satu kota termodern dan termewah di dunia. Hari ini orang Singapura dapat menikmati hidup bertaraf tinggi dan menjadi idaman—hidup yang nyaman, mewah dan serba mudah.
Tatkala mereka sudah biasa dengan berbagai fasilitas dan puas dengan apa yang mereka miliki, maka mereka mulai khawatir dengan “goncangan” yang mungkin mengancam keadaan. Begitulah. Di saat kita tak mempunyai apa-apa, kita tidak akan punya rasa takut seperti yang mereka alami karena kita tidak akan kehilangan apa-apa. Tetapi setelah kita punya sesuatu, kita khawatir akan kehilangannya.
Ironinya, dari semua kajian tentang keberhasilan yang telah dilakukan menemukan bahwa satu hal yang dapat menyeret orang menjauhi keberhasilan ialah perasaan takut pada kegagalan. Perasaan inilah yang biasanya menghalangi seseorang itu berhasil.
Saya melihat banyak orang yang mempunyai bakat besar. Kebanyakan orang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa jika mereka mempunyai cukup keyakinan untuk mengambil risiko. Tapi mereka tidak melakukannya. Takut terhadap kegagalan bukanlah sekadar bersumber dari “kegagalan” itu sendiri. Kekhawatiran itu justru berasal dari cara memaknai respons miring masyarakat terhadap mereka yang gagal. Apa yang akan dikatakan orang lain jika saya gagal? Bagaimanakah saya menghadapi orang lain?
Bayangkanlah sebuah masyarakat yang tiap-tiap anggotanya bersedia untuk mencoba dan gagal. Sebuah masyarakat yang berani gagal. Bayangkan betapa banyak penemuan yang akan muncul. Bayangkan juga betapa banyak lagi yang dapat dihasilkan oleh seluruh masyarakat dunia. Semua hasil karya hebat di dunia dihasilkan orang-orang yang berani, dan semua kemenangan besar di dunia lahir dari sebuah kekalahan.
Karenanya, kita harus senantiasa berani untuk melibatkan diri dengan “risiko”, yang biasanya diiringi kemungkinan kita gagal mencapai yang diinginkan. Filosofinya, lautan baru tidak mungkin akan kita temukan seandainya kita tidak berani untuk berlayar jauh dari pantai. Kita tak mungkin akan mendapat kesempatan tanpa berhadapan dengan risiko apa pun, yaitu apa yang akan anda alami ketika berhadapan dengan krisis atau masalah.
Ingat, semua “kesempatan besar” sesungguhnya tidak pernah aman. Di sana pasti akan melibatkan risiko, baik risiko terhitung maupun risiko tak terhitung. Bagi seorang pengusaha sejati, setiap kesempatan besar yang aman itu tidak pernah berwujud. Semakin besar risiko semakin besar pula kesempatan yang datang karena tidak banyak yang berani untuk mencobanya.
Seorang pengusaha tahu bahwa sebuah kapal yang sedang berlabuh pasti dalam keadaan aman, tetapi hal itu bukan tujuan dibangunnya sebuah kapal. Dengan kata lain, mereka yang hanya menginginkan keberhasilan, tetapi tak sanggup menghadapi kenmungkinan gagal, sebenarnya telah sampai pada batas keberhasilan mereka. Seperti dikatakan filsuf Denmark, dalam tahap awal kehidupan manusia, yang paling berbahaya adalah tidak mengambil risiko.
Mengambil risiko bukan berarti kita harus menjadi terlalu berani. Mereka biasanya mencoba ide mereka dalam skala kecil dahulu, melakukan perbaikan di sana sini dan memastikan mendapatkan yang terbaik, sebelum mengimplementasikan atau memulai sesuatu yang lebih besar.●
*Billi Lim, penulis buku Berani Gagal, international best seller