Penipuan pinjaman online ilegal berkedok koperasi abal-abal masih terus terjadi meski pemerintah mengklaim telah melakukan upaya pencegahan dan represif.
Pesatnya perkembangan teknologi digital di sektor jasa keuangan, ternyata belum diimbangi dengan perlindungan yang memadai bagi konsumen. Ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang menjadi korban penipuan, atau minimal merasa dirugikan oleh lembaga jasa keuangan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun lalu menerima 3.692 aduan dari konsumen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30,5% merupakan aduan produk dan jasa keuangan, 22,7% belanja online, 8,3% telekomunikasi, 8,2% listrik serta 5,22% berasal dari sektor kesehatan. Industri jasa keuangan meliputi perbankan, asuransi, multifinance, pasar modal, dan koperasi.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, banyaknya aduan dari konsumen jasa keuangan membuktikan pengawasan di sektor ini masih lemah. “Pengaduan ini disebabkan karena kurangnya pengawasan dari regulator. Ini salah satu pekerjaan rumah yang harus dibenahi,” ujar Tulus.
Lonjakan aduan konsumen sepanjang tahun lalu tak dapat dilepaskan dari persoalan pandemi COVID-19. Dalam pandangan YLKI, regulator perlu mengeluarkan kebijakan yang tegas dan konsisten untuk melindungi hak-hak konsumen. YLKI juga mendesak, perlunya perbaikan fundamental dalam manajemen komunikasi publik oleh pemerintah dan pejabat publik, baik di level pusat maupun daerah.
Selain itu, YLKI juga menyorot perubahan perilaku konsumen selama pandemi COVID-19. “Berbagai pengaduan tidak hanya tentang kemampuan perusahaan dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas, namun juga tentang literasi digital dan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Indonesia yang masih rendah,” ujar Tulus.
Dalam catatan YLKI, level IKK Indonesia masih berada di level Mampu atau skor 41,70. Sedangkan di negara maju, level sudah mencapai tahapan Berdaya dengan skor 53-67.
Sementara itu, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020, terdapat kenaikan indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan. Survei ini melibatkan 12.773 responden dari 34 provinsi di Indonesia.
Dalam survei yang digelar setiap tiga tahun itu, indeks literasi keuangan pada 2019 tercatat sebesar 38,03%, meningkat dari 2016 sebesar 29,70%. Sementara indeks inklusi keuangan 2019 sebesar 76,19%, naik dari 2016 senilai 67,80%.
OJK mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Sedangkan inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari survei ini, meski terlihat adanya peningkatan pengetahuan (literasi) maupun akses (inklusi) terhadap layanan jasa keuangan namun masih ada pekerjaan rumah pemerintah yang perlu ditingkatkan lagi agar konsumen lebih berdaya dalam melindungi dirinya.
Ditinjau dari sektornya, persentase literasi keuangan dan inklusi responden jasa keuangan sebagai berikut:
Senada dengan YLKI, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) mencatat aduan konsumen di sektor jasa keuangan masih tinggi, selain sektor perumahan dan jasa telekomunikasi.
Adapun rincian aduan konsumen ke BKPN selama 2020 berdasarkan sektornya sebagai berikut:
Dua data dari lembaga perlindungan konsumen yang kredibel ini cukup menjadi bukti bahwa terdapat persoalan serius dalam perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.