Sampai akhir 2018, BI mewajibkan perbankan untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20% dari total kredit. Namun masih ada bank yang tidak bisa memenuhinya. Apa solusinya?
Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah kondang sebagai tulang punggung perekonomian. Lebih dari 90% pelaku usaha di Indonesia bergelut di sektor ini dan menyerap tenaga kerja yang signifikan. Namun sayangnya, masih banyak pelaku usaha yang kesulitan mengakses permodalan bank untuk mengembangkan usahanya. Pemerintah pun tidak tutup mata terhadap hal ini.
Selain mengandalkan kredit program seperti kredit usaha rakyat (KUR) untuk mempermudah akses permodalan UMKM, pemerintah melalui BI mewajibkan perbankan untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20% dari total penyaluran kredit. Ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan kredit UMKM diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Seperti diketahui, kewajiban rasio penyaluran UMKM tersebut berlaku secara bertahap. Pada 2013—2014, rasio kredit UMKM disesuaikan dengan kemampuan bank yang dilaporkan dalam Rencana Bisnis Bank. Pada 2015, rasio kredit UMKM paling rendah 5% dari total kredit yang disalurkan. Kemudian, kewajiban tersebut semakin meningkat menjadi minimal 10% pada 2016, minimal 15% pada 2017, dan minimal 20% pada 2018.
Jika bank masih belum mampu memenuhi ketentuan penyaluran kredit UMKM 20% dari total kredit, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menyiapkan sejumlah sanksi diantaranya melakukan disinsentif berupa pengurangan jasa giro dan akan menegur bank tersebut.
Faktanya, secara industri perbankan belum bisa memenuhi mandatori kredit UMKM. Dari data OJK per November 2018, penyaluran kredit bank tercatat sebesar Rp5.218,22 triliun. Sementara baki debet kredit UMKM sebesar Rp956,93 triliun, atau 18,34% dari total penyaluran kredit perbankan. Melihat hal tersebut, publik menunggu apakah BI konsisten dalam menjalankan sanksi atau membuat kebijakan baru berupa relaksasi. Artinya, bank-bank yang belum memenuhi ketentuan kredit UMKM bisa menempuh cara alternatif seperti indirect financing, atau tidak hanya dibatasi pada jenis pembiayaan secara langsung.
Skema inderect financing, dapat dilakukan dengan membeli surat utang dan menyalurkan dananya untuk kebutuhan UMKM. Selain itu, dapat dilakukan dengan skema lain seperti supplier financing, supply chain finance, dan distributor financing. Dengan begitu, perbankan secara individu dapat memenuhi ketentuan penyaluran kredit UMKM tersebut.
Salah satu bank BUMN yang sudah pasti memenuhi ketentuan BI tentang mandatori kredit UMKM adalah Bank BRI. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena selama ini salah satu bank pelat merah itu dikenal sebagai “raja” kredit UMKM.
Hingga akhir tahun 2018, BRI menyalurkan kredit sebesar Rp843,6 triliun atau tumbuh 14,1% bila dibandingkan dari tahun sebelumnya sebesar Rp739,3 triliun. Direktur Utama Bank BRI Suprajarto menyebut, salah satu pendorong profitabilitas BRI yakni penyaluran kredit ke sektor UMKM yang terus meningkat. Hal tersebut selaras dengan strategi perseroan yang fokus memberdayakan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan menyediakan akses permodalan terhadap pelaku UMKM.
“Targetnya, di tahun 2022 portofolio penyaluran kredit UMKM BRI mencapai 80% dari total kredit,” kata Suprajartodihadapan media beberapa waktu lalu.
Portofolio penyaluran kredit BRI terhadap segmen UMKM sebesar Rp645,7 triliun, atau setara 76,5% dari total penyaluran kredit BRI. Angka ini lebih tinggi dibandingkan proporsi kredit UMKM BRI di akhir tahun 2017 sebesar 75,6%. Sementara pada Non Performing Loan (NPL) Gross BRI masih terjaga sebesar 2,27%.
BRI juga telah berhasil menyalurkan KUR dengan total Rp80,2 triliun kepada 3,9 juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia. Hal ini menjadikan Bank BRI sebagai penyalur KUR terbesar di Indonesia dengan portofolio 64,9% dari total target penyaluran KUR nasional 2018 sebesar Rp123,56 triliun.
Selain BRI, Bank Mandiri juga diprediksi dapat memenuhi ketentuan BI tersebut. Pasalnya, Mandiri masih menunggu finalisasi data kontribusi penyaluran kredit UMKM terhadap portofolio kredit di 2018.
Dalam memenuhi target penyaluran kredit UMKM, Mandiri terus melakukan improvisasi dengan membangun core competency dalam pembiayaan modal kerja dan investasi bagi UMKM melalui proses perbaikan-perbaikan proses bisnis penyaluran kredit.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III/2018 perseroan, kontribusi kredit UMKM kepada portofolio kredit perseroan masih berada di posisi 11,51%. Pada akhir 2017, Mandiri belum memenuhi aturan kontribusi kredit UMKM yang kala itu dipatok 15%. Sampai akhir 2017, Mandiri hanya mampu menyalurkan kredit UMKM sebesar 12,47% dari portofolio kredit.
Selama ini, Mandiri melanjutkan fokus bisnis pada segmen mikro dan segmen konsumer yang memberikan kontribusi signifikan pada pertumbuhan kredit Perseroan sampai dengan kuartal/III2018 yang meningkat 13,8% secara tahunan.
Dari sisi penyaluran kredit UMKM bersubsidi atau KUR, Perseroan diberikan target oleh pemerintah untuk menyalurkan KUR senilai Rp17,5 triliun atau 14,18% dari total kuota KUR 2018. Hingga Oktober 2018, perseroan baru dapat merealisasikan 87% dari target atau senilai Rp15,2 triliun kepada 225.928 debitur.
Sementara porsi kredit UMKM BNI per November 2018 sebesar 19% dari total kredit. BNI merupakan bank yang memiliki banyak nasabah korporasi dan menengah. Oleh karenanya, mereka akan memanfaatkan aktivitas supply chain dari mitra nasabah korporasi.
Hal berikutnya adalah dengan menggunakan program clustering untuk mempercepat penetrasi dalam memperoleh nasabah UKM yang berkualitas.
Tidak terpenuhinya minimum penyaluran UMKM oleh bank disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, persaingan bisnis kredit UMKM sangat ketat. Apalagi kini ada perusahaan financial technology (fintech) yang juga agresif masuk ke sektor UMKM. Hal ini menyulitkan bagi bank-bank berukuran mini yang modalnya terbatas. Sebab, untuk bisa melakukan penetrasi di segmen ini dibutukan kompetensi SDM yang memadai dan jaringan kantor yang luas. Jika pun menggunakan teknologi, mereka harus investasi yang nilainya tidak kecil.
Selain itu, potensi risiko kredit yang cukup besar. Semua mafhum, profil risiko debitur UMKM lebih riskan dibanding segmen lain seperti korporasi. Hal ini membuat bank berpikir jauh untuk jor-joran di kredit UMKM. Bahkan tidak sedikit bank yang jauh-jauh hari lebih memilih disanksi oleh BI daripada harus menanggung risiko kredit macet.
Peran perbankan dalam menggerakkan sektor UMKM tentunya sangat diharapkan. Apalagi selama ini sumber pembiayaan dunia usaha di Indonesia sebagian besar berasal dari perbankan. Oleh karenya, diperlukan solusi bersama dari pihak regulator baik BI atau OJK agar bank lebih tertarik menyalurkan kredit ke segmen UMKM. (Kur).