octa vaganza
Fokus  

Jalan Panjang LPS Koperasi

Target pemerintah yang mendorong peningkatan kontribusi sokoguru perekonomian terhadap PDB sebesar 5,5% pada 2024 akan mudah tercapai dengan kehadiran lembaga penjamin simpanan KSP.

Keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan koperasi dapat diukur dari keseriusan mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam (LPS-KSP). Pasalnya, wacana ini sudah 20 tahun bergulir namun tidak kunjung terealisasi.

Teranyar saat pembahasan RUU Cipta Kerja dua tahun silam, usulan pembentukan LPS-KSP kembali digulirkan karena koperasi masuk kluster yang dibahas. Setelah RUU disahkan menjadi UU, LPS KSP masih tetap sebatas wacana.

“LPS-KSP luput sebagai substansi yang diatur dalam UU No 11 Tahun 2020,” ungkap Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, beberapa waktu lalu.

Jauh sebelum pembahasan UU Cipta Kerja tersebut, sebenarnya sudah dilakukan beragam upaya untuk mendesakan pendirian LPS-KSP. Pada 2013, telah disusun Draft Naskah Akedemik sesuai mandat UU No 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Namun dalam perjalanannya terhenti karena UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013.

Selanjutnya pada periode 2016-2017, dilakukan pembaruan terhadap Naskah Akademik (2013). Fokusnya adalah merumuskan argumentasi pentingnya LPS-KSP dari berbagai perspektif, landasan yuridis yang kokoh berdasar UU No 25 Tahun 1992, hingga format pelembagaan LPS-KSP.

Kemudian pada periode 2018-2019, hasil pembaruan naskah akademik tersebut menjadi salah satu referensi yang memperkuat argumen pemerintah kepada DPR RI, sehingga pembentukan LPS-KSP telah disetujui untuk diatur dalam pasal RUU Perkoperasian. Sayangnya, hingga saat ini RUU Perkoperasian tersebut belum disahkan menjadi UU sehingga jalan menuju terwujudnya LPS-KSP masih terasa panjang.

Kemenkop dan UKM sendiri menargetkan penyusunan draf RUU Perkoperasian dan penyempurnaannya  rampung pada Oktober tahun ini. Selanjutnya, akan dibahas di DPR pada 2023. “Oktober 2022 paling tidak kami targetkan selesai dan RUU Perkoperasian ke DPR, sehingga tahun depan bisa dibahas di DPR,” kata Zabadi.

Menilik praktik LPS di perbankan, pendirian LPS-KSP akan memberi dampak positif bagi berkembangnya koperasi dan mendukung  stabilitas sistem keuangan. Hal itu karena meningkatnya kepercayaan kepada sistem keuangan formal, khususnya koperasi.

Dengan koperasi yang semakin berkembang dapat menopang pertumbuhan ekonomi. Hingga awal Juli 2022, terdapat sekitar 236 ribu unit koperasi dengan jumlah anggota sekitar 26,96 juta orang, dan volume usaha mencapai Rp163,45 triliun.

Selain itu, pengembangan usaha koperasi sejalan dengan target pemerintah sendiri yang mendorong kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 5,5% pada 2024 dari 5,1% pada 2019.

“Jumlah dan kontribusi yang diberikan koperasi perlu untuk terus kita dorong dan dioptimalkan lebih jauh lagi agar mampu memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat,” ujar Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian  dalam keterangan resmi, 23 Juli 2022.

Pendirian LPS-KSP juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Dengan begitu, mereka akan lebih tertarik menjadi anggota karena simpanannya sampai batas tertentu akan ditanggung oleh negara. Hal ini juga dapat mencegah peristiwa gagal bayar seperti yang terjadi di beberapa koperasi.

Meski bertujuan mulia, namun belum semua pihak sepakat terhadap pendirian LPS-KSP. Setidaknya ada beberapa argumentasi yang sering didengungkan oleh para penolak lembaga tersebut.

Pertama, sistem KSP dituding bersifat eksklusif. Sebab, dana dihimpun dan disalurkan hanya kepada anggota, maka simpanan sebagai harta milik anggota sekaligus pemilik, mengapa harus dijamin secara eksternal oleh LPS KSP.

Kedua, disinyalir akan timbul moral hazard yang dilakukan oleh para pengelola KSP bandel. Ini tidak lepas dari penilaian belum optimalnya praktik tata kelola yang baik (governance) di KSP. Ini ditambah dengan pandangan pengawasan yang lemah dari regulator perkoperasian di Indonesia.  

Ketiga, pendirian LPS KSP sebagai badan hukum yang independen akan memberatkan APBN. Mengacu pada awal pembentukan LPS di perbankan, penyertaan modal negara “hanya” sebesar Rp4 triliun.

Pandangan-pandangan minor terhadap koperasi yang sebenarnya “lagu lama” tersebut tentu menjadi tugas pemerintah, dalam hal ini Kemenkop dan UKM dan gerakan koperasi untuk menjawabnya.

Secara internal, para pengelola KSP  perlu didorong untuk membenahi praktik tata kelola. Misalkan memberikan laporan keuangan audited secara berkala yang ditampilkan di website. Sehingga publik dan anggota dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kesinambungan usaha KSP tersebut.

Faktanya, masih sedikit sekali KSP yang berani merilis laporan keuangan secara terbuka di situsnya masing-masing apalagi melalui rilis media massa. Ini tidak lepas dari ketiadaan regulasi yang “memaksa” pengurus KSP untuk mempublikasikan secara berkala kinerjanya tersebut.

Berkaca dari kasus-kasus gagal bayar maupun praktik fraud yang terjadi di sebagian koperasi, mencerminkan masih lemahnya pengawasan oleh regulator perkoperasian di Indonesia. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi sebelum LPS-KSP beroperasi.

Pada sisi lain, sambil tetap mendesakan pembentukan LPS-KSP kepada pemerintah, gerakan koperasi perlu merevitalisasi lembaga Apex Koperasi. Jadikanlah lembaga itu sebagai pengayom koperasi termasuk menjamin simpanan anggota sampai batas tertentu. Koperasi-koperasi jumbo mungkin dapat menginisiasi hal ini.

Kehadiran LPS-KSP nantinya akan menjadi babak baru wajah perkoperasian Indonesia. Koperasi yang tidak lagi mengharapkan bantuan pemerintah sebagai sumber utama pendapatan tetapi menjadi entitas bisnis yang benar-benar menjalankan prinsip dan jatidiri koperasi. Semoga. (Kur).

Exit mobile version