octa vaganza
Fokus  

Ironi Benang Basah Logika Impor

Regulasi yang telah dikeluarkan untuk membendung barang impor via platform perdagangan digital terbukti mandul. Produk luar negeri, utamanya dari China justru merajai pasar lokal yang berpotensi besar membunuh UMKM.

Liberalisasi perdagangan memberi konsekuensi logis kian maraknya lalulintas perdagangan barang dari satu negara ke negara lain, hampir tanpa hambatan berarti. Bagi negara produsen, kebijakan ini merupakan berkah, dan sebaliknya negara konsumen menjadi sasaran empuk dari korporasi global untuk memasarkan produk-produknya. Terlebih dengan kemajuan ekonomi digital, terjadi akselerasi mobilitas barang antarnegara melalui platform digital.

Fenomena membanjirnya barang impor plus praktik banting harga via platform digital e-commerce memancing perhatian Presiden Jokowi yang menyerukan masyarakat agar mencintai produk Indonesia sekaligus membenci produk asing.

Faktanya, hampir seluruh platform e-commerce memang menyediakan jalur untuk impor barang konsumsi seperti fesyen dan elektronik langsung dari luar negeri. Meski Asosiasi E-commerce  Indonesia (idEA) buru-buru menambahi bahwa sebagian besar penjual di lapak mereka adalah pelaku UMKM lokal.

Menurut peneliti INDEF Nurul Huda, kehadiran produk luar negeri tidak lepas dari karakteristik konsumen Indonesia yang sensitif terhadap harga. Sebelum memutuskan untuk membeli, umumnya konsumen akan membandingkan harga jual  antarlapak. Toko yang menawarkan harga terendah yang akan dipilih. Ini tentu sah-sah saja terlebih di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang. Selain itu, dibanding produk lokal barang impor memang jauh lebih murah.  

Kondisi tersebut tidak luput dari perhatian investor atau bohir  e-commerce. Sebab pendanaan untuk platform e-commerce melihat valuasi yang tak hanya diukur dari GMV (gross merchandise value) dan pangsa pasar saja. Namun juga dari jumlah konsumen atau pengunjung platform tersebut. Untuk itu, mereka akan menawarkan produk yang sesuai dengan selera konsumen pada umumnya yaitu murah agar trafik pengunjung melonjak.

Untuk menghadapi gurita impor tersebut, INDEF mengusulkan agar selain mengintervensi harga dengan kebijakan pajak barang impor, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas produk lokal. Dengan begitu, barang lokal akan bisa bersaing dengan asing.

Seperti diketahui, Pemerintah telah menerbitkan regulasi untuk menekan barang impor. Regulasi tersebut antara lain penurunan batas nilai pembebasan bea masuk barang kiriman dari USD75/kiriman menjadi USD3/kiriman mulai 30 Januari 2020. Ketentuan baru ini berlaku seiring terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak Atas Impor Barang.

Selain itu, dalam pasal 21 dan 22 Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menyebutkan bahwa pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) wajib menyediakan platform atau ruang khusus untuk promosi barang dan jasa hasil produksi dalam negeri. Pelaku usaha pun diminta untuk mengutamakan kemitraan dan akses bagi produk UMKM.

Namun demikian, peraturan-peraturan itu terbukti mandul di lapangan. Sebab, regulasi itu juga tidak mencantumkan kuantitas yang pasti berapa produk lokal yang harus dijajakan di lapak e-commerce. Selain itu, tidak ada sanksi bagi pelaku e-commerce yang tidak mempromosikan produk dalam negeri.

Dalam lima tahun terakhir, asing menjadikan Indonesia sebagai target pasar yang menggiurkan. Ini terlihat dari menanjaknya barang-barang impor konsumsi selama periode 2016-2020. Data Kementerian Perdagangan mencatat, dalam periode tersebut impor barang konsumsi tumbuh sebesar 5,17%. Sementara untuk impor bahan baku penolong dan barang modal masing-masing hanya tumbuh 1,01% dan 3,10%.  Peningkatan impor barang konsumsi seperti pakaian tentu tidak lepas dari kehadiran e-commerce yang semakin menjamur dalam 5 tahun terakhir ini.

Apalagi dikala pandemi, data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mencatat pertumbuhan e-commerce di Indonesia sangat tajam yakni mencapai 91%. Ini juga disebabkan karena meningkatnya pengguna internet dari 64% menjadi 73,7% sampai akhir tahun lalu.

Peningkatan kapasitas produk lokal menghadapi tantangan yang tidak ringan. Apalagi di tengah fenomena deindustrialisasi di Tanah Air. Ambil contoh pada produk fesyen yang merupakan salah satu barang paling diburu konsumen di lapak e-commerce. Untuk bisa bersaing dengan barang impor, pelaku UMKM lokal haruslah diberi akses bahan baku seperti kain dan benang dengan harga kompetitif.

Bandingkan dengan pemerintah China, negara yang sekarang merajai barang impor melalui e-commerce yang memberi subsidi kepada perusahaan yang melakukan ekspor barang ke Indonesia. Di Tao Bao Village, kampung UMKM yang memproduksi barang dan menjual secara online, pemerintah Negeri Tirai Bambu itu memberikan subsidi mulai dari pajak, sertifikasi, dan bea ekspor. Ditambah lagi dengan strategi akuisisi saham e-commerce lokal oleh grup perusahaan China sehingga tidak aneh jika mereka menjadi tuan di negeri ini.

Sampai saat ini, belum ada terobosan kebijakan baru yang dilakukan Pemerintah untuk mengerem laju impor barang melalui e-commerce. Semuanya masih dalam tahap kajian dan investigasi termasuk soal banting harga. Padahal, saat ini pelaku UMKM boleh dibilang sedang kembang kempis di tengah resesi ekonomi.

Merujuk hasil riset KoinWorks, pada tahun ini 63,4% UMKM pesimistis bisnis dapat tumbuh meski sudah ada vaksin virus corona. Salah satu alasannya, karena mereka sulit berinovasi dan mendigitalkan usahanya.

Publik menanti solusi konkrit yang efektif dari pemerintah untuk menekan laju impor via platform perdagangan digital.  Tanpa perbaikan secara struktural mulai dari industrialisasi sampai kebijakan insentif ajakan mencintai produk dalam negeri sambil membenci produk asing hanyalah nasionalisme seolah-olah (pseudo), jika tidak ingin disebut -meminjam istilah Jean Baudrillad- nasionalisme simulacra.

Exit mobile version