Pertemuan Asean-Indo Pacific Forum (AIPF) yang digelar dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Asean 2023 yang berlangsung pada awal September ini di Jakarta mengangkat satu isu penting yang menjadi pekerjaan rumah bagi sektor perbankan, yaitu upaya meningkatkan inklusi keuangan. Inisiatif keuangan digital ASEAN diyakini memiliki kontribusi besar dalam mempercepat inklusi keuangan di kawasan ini.

Di tengah optimisme untuk menjadikan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan ekonomi dunia, rendahnya inklusi keuangan menjadi agenda yang harus buru-buru diatasi. ASEAN memang majemuk, sebagian negara yang sudah maju tentu tidak memiliki isu lagi terkait inklusi keuangan, tetapi, sebagian masyarakat yang ada di negara anggota ASEAN lainnya lagi yang ekonominya masih jauh tertinggal tentu masih menghadapi masalah serius dengan akses keuangan.
Data Bank Dunia pada tahun 2021 mengungkapkan Indeks inklusi terendah tercatat berada di level 33%, sedangkan level tertinggi pada kisaran 90%. Namun, rata-rata indeks inklusi keuangan di ASEAN berada di level 41%.
Jika mengacu pada data The Global Financial Index, Kamboja dan Laos memiliki indeks inklusi keuangan terendah, masing-masing 33,39% dan 37,32%, sedangkan Filipina mencapai 51,37%.
Dapat ditebak, negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand memiliki indeks inklusi keuangan tertinggi. Malaysia 88,37%, Singapura 97,55%, Thailand 95,58%.
Sementara Indonesia, menurut data Global Financial Index 2021 indeks inklusi keuangannya mencapai 51,76%. Namun demikian, jika mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis pada 2022, indeks literasi keuangan Indonesia sudah meningkat jadi 82,5%.
ASEAN adalah rumah dari 680 juta penduduk dan 70 juta UMKM masih menghadapi tantangan inklusivitas keuangan yang signifikan. Wakil Menteri BUMN Republik Indonesia, Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan transaksi dan menggunakan jasa layanan bank tercatat masih rendah dengan persentase penduduk hingga 70% belum menggunakan layanan perbankan.
Tidak hanya itu, sekitar 39 juta dari 70 juta UMKM juga menghadapi kekurangan pendanaan yang cukup besar dengan nilai US$300 miliar setiap tahunnya.
“Di tengah kondisi ini munculnya layanan keuangan digital membuka jalan untuk menjembatani kesenjangan keuangan khususnya bagi mereka yang belum mempunyai rekening bank, belum memakai jasa layanan perbankan, dan juga bagi UMKM yang sebelumnya mungkin dinilai unbankable,” ujarnya ketika berbicara dalam forum AIPF 2023.
Dalam kaitan itu, layanan keuangan digital diyakini dapat memainkan peran penting dalam mendorong inklusivitas keuangan, dan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di Kawasan ASEAN.
Kalangan perbankan sebetulnya cukup optimistis melihat trend perkembangan saat ini, terutama situasi di Indonesia.
Group President & Chief Executive Officer Maybank, Dato’ Khairussaleh Ramli, yang menjadi salah satu panelis dalam sesi diskusi panel AIPF tersebut mengatakan perkembangan transformasi digital di Indonesia belakangan ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, dimulai dengan hadirnya Gojek yang kemudian disusul oleh startup lainnya seperti GoTo, Tokopedia, Bukalapak, dan aplikasi sejenis lainnya.
“Salah satu perkembangan penting dalam kaitan tersebut adalah hadirnya marketplace yang kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk memasarkan produk baik secara B-to-B maupun B-to-C. Hadirnya marketplace ini memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM untuk bergabung dan menampilkan dan memasarkan produknya,” ujarnya.
Kemudian perkembangan penting lain adalah meningkatnya penggunaan fasilitas pembayaran berbasis digital yang telah membentuk ekosistem tersendiri. Tren lain yang semakin marak terjadi adalah berkembangnya penyediaan pendanaan dan pembiayaan dari perusahaan Fintech dan dari bank digital, menambah pilihan pembiayaan dari jasa perbankan.
Dia melihat hadirnya marketplace, pembayaran digital maupun skema pembiayaan lain yang membantu masyarakat mengelola cashflow telah menjadi tren baru. Untungnya, perkembangan transformasi digital juga mendapat dukungan pemerintah, regulator terkait dan Bank Sentral.
Selain itu, Pemerintah dan Bank Sentral juga terus mendorong transaksi keuangan secara digital. Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperkenalkan regulatory sandbox yang memberikan peluang kepada bank-bank di Indonesia untuk melaksanakan uji coba menggunakan data non tradisional dalam melakukan credit scoring.
Khairussaleh Ramli juga mengungkapkan inisiatif dalam membangun inklusi keuangan dan keberlanjutan yang di dalamnya termasuk sektor UMKM yang telah mendorong berbagai institusi perbankan mewujudkan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs) dengan menjangkau sektor UMKM.

Terdorong Digitalisasi
Menurut Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Sunarso, digitalisasi telah mendorong transformasi industri perbankan yang pada akhirnya meningkatkan inklusi keuangan dan pemberdayaan UMKM yang merupakan bisnis inti bank tersebut.
Dengan transformasi yang tengah dijalankan, Sunarso berharap BRI menjadi lebih siap menghadapi tantangan di industri perbankan modern. Dia meyakini bank BUMN tersebut dapat menjadi salah satu katalis bagi Indonesia sebagai pemangku kepentingan dalam mendukung ASEAN menjadi salah satu episentrum pertumbuhan global.
Menurut Rosan Roeslani, pertumbuhan dan revolusi keuangan digital telah meningkatkan perekonomian negara dan inklusivitas ekonomi di negara-negara ASEAN. Hal serupa juga terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Dia mengungkapkan, antara tahun 2011 hingga 2022, pemain financial technology di Indonesia meningkat enam kali lipat dari semula 51 pemain menjadi 334 pemain aktif. Dalam melakukan transformasi pinjaman digital, bank-bank di Indonesia juga terlihat cukup agresif. Tiga bank pelat merah: BRI, Bank Mandiri dan Bank BNI telah merilis platform pinjaman digital yang memungkinkan individu yang tidak memiliki riwayat pinjaman dapat mengakses layanan keuangan secara digital.
Inisiatif ini memberikan dampak yang signifikan terhadap inklusi keuangan. Pinjaman digital BRI tumbuh 146% dalam waktu satu tahun di periode 2021 hingga 2022 dengan nilai pinjaman US$125 juta.
Tentu tak cuma di Indonesia, sektor keuangan digital di negara ASEAN lain juga telah bertransformasi untuk memperkuat inklusi keuangan bagi konsumen dan UMKM. Semoga saja ketimpangan inklusi keuangan ini dapat segera diatasi, sehingga cita-cita ASEAN menjadi episentrum ekonomi global tak hanya menjadi angan-angan. (trd)