octa vaganza

Ini Siasat Kuliner Bandung Hadapi Pandemi Covid-19

BANDUNG-—-Pandemi Covid-19 juga berdampak pada industri kreatif, tak terkecuali sektor kuliner. Tetapi bukan berarti kreativitas mati.  Bonita Aryani, seorang pemilik gerai kedai makanan keju dan burger di Bandung mengaku kehilangan omzet hingga 70 persen.

Untuk mensiasatinya, Bonita menjadikan kedainya melayani take away dan tetap dipertahankan. Sementara agar pegawainya tetap bekerja ia membuka lini baru  menjual bahan makanan mentah (bukan siap masak).

“Kebetulan saya kontak supplier, mempunyai banyak frezer, mempunyai gudang.  Lini baru ini membuat pegawai tetap bisa bekerja dan bahkan menjadi penghasilan nomor satu,” kata Bonita ketika dihubungi Peluang, Senin (25/5/20).

Ke depan, pascapandemi, menurut Bonita konsumen akan berbelanja barang yang dibutuhkan. Makanan akan terus bertahan, hanya akan balik ke makanan yang bukan kekinian, yang biasa dimakan enak.

“Aku akan jual makanan dsar seperti daging slice, kentang, sosis, setengah ready di mana konsumen bisa masak sendiri.  Kita juga jual kuah untuk saos misalnya untuk suki. Jadi kita membantu konsumen untuk memasak mudah,” papar Bonita.

Bonita juga menyebut akan ada kecenderungan munculnya healthy food. Tetapi ceruk pasarnya masih kecil karena harganya mahal. Akan lebih banyak suplai daripada permintaan, konsumen akan tetap mencari makanan terjangkau.

Hal senada juga diungkapkan Gingin Ginagan pemilik kuliner olahan cilok yang mengaku kehilangan omzet sampai 50 persen. Sementara rekannya sesama pelaku kuliner banyak yang tutup. Usahanya beralih ke penjualan daring.

Gingin juga mengaku dibantu Wakil Bupati Bandung Barat Hengku Kurniawan, Dede Yusuf dan salah seorang artis sinetron Preman Pensiun 4 ikut mendukung.

“Mereka membantu endorse gratis. Nah. semenjak diendorse oleh mereka alhamdulillah ada sedikit peningkatan penjualan walau tidak signifikan,” imbuh Gingin.

Hanya saja Gingin mengaku  ke depan pascapandemi tidak banyak berharap. Dia hanya memfokuskan penjualan dan promo secara daring melalui media sosial.

“Menurut saya untuk saat ini medsos salah satu media promosi yang efektif,” kata Gingin.

Tren Healthy Food

Sementara staf pengajar Antropologi Universitas Padjadjaran  Hardian Eko Nurseto membenarkan semua pegiat kuliner yang ditemuinya mengaku berteriak omzetnya turun antara 60-80 persen terutama di awal pandemi.

Nafas para pemilik kuliner tidak panjang, simpanan mereka hanya untuk bertahan 3-6 bulan untuk menutupi biaya operasional.  Pandemi ini bersamaan dengan Ramadan yang seharusnya jadi puncak penjualan untuk fashion dan kuliner dan ozet harusnya 3-4 kali lipat. Sayangnya tidak terjadi.

“Industri kuliner tetap berinovasi dan proses penciptaannya bernilai pengetahuan produktif,” ujar pria yang karib dipanggil Seto ini dalam diskusi virtual Antropngonline, Jumat (22/5/20) lalu.

Lanjut Seto pandei Covid-19 memberikan kebiasaan baru bagi konsumen untuk mengkonsumsi makanan. Ini direspon pegiat kuliner.  Konsumen lebih konsen pada food safety produsen dan tren baru kmakan di rumah.

Survei di Amerika dan Eropa terjadi kebangkitan healthy food, bahan-bahan organik, masak dari nol, ini harus direspon teman-teman industri kuliner. Mereka mencari revenue baru.

“Ibu-ibu jadi lebih suka masak. Jadi buat nasi tugtug sendiri, steak sendiri. Tren pandemi mendorong masyarakat kembali ke dapur,” imbuh Seto.   

Tren pandemi kembali ke dapur, belajar lagi masakan, ada peningkatan pengetahuan, awarness terhadap makanan lokal, pangan lokal meningkat. Tentunya penjualan secara daring meningkat. Kedai yang ada juru masaknya memakai masker dan perhatian terhadap kesehatan meningkat.

Seto menganjurkan, pelaku kuliner memaksimalkan resources yang ada, melakukan edukasi pasar, menggunkan hal  yang nyaman. Dia mencontohkan, ada paket semur tahu, ada sayuran, ada ayamnya. Juga ada  main produk olahan yang umurnya panjang seperti rendang kalengan.

“Teman-teman yang punya kafe bisa menjadi ghost kitchen atau restoran virtual lengkap dengan juru masak dan manajemen, tetapi tidak menghadirkan makanan di tempat dan penjualan secara daring, serta bisa kerja sama dengan jasa brand delivery.  Pendapatan baru tetap harus dicari,” ujar Seto.

Dia berharap pasca pandemi, ada bantuan dari pemerintah untuk merecovery usaha, karena selama pandemi tidak ada sedikitpun bantuan pemerintah yang turun ke UMKM (Irvan Sjafari).

Exit mobile version