octa vaganza

Inflasi dan Depresi Rupiah Berlanjut di 2023

Jakarta (Peluang) : Resesi global dapat mempengaruhi ekonomi domestik hingga diprediksi inflasi tinggi menggerus daya beli.

Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Rachbini  memprediksi sektor moneter dari domestik kembali menghadapi tantangan pada tahun 2023. Hal ini dikarenakan inflasi yang tinggi dan depresiasi rupiah masih berlanjut pada tahun depan. 

“Pada 2023 ada trade off antara kita tetap tumbuh tapi di tengah ketidakpastian tersebut ada suku bunga yang tinggi dan inflasi. Sehingga ini perlu diperhatikan agar masyarakat terus memiliki daya beli serta dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan,” kata Eisha dalam diskusi publik ‘Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara’ secara daring di Jakarta, Selasa (20/12/2022).

Eisha mengatakan, inflasi pada tahun 2022 lebih tinggi daripada 2021. Terlihat pada sisi penawaran, terjadi kenaikan harga-harga komoditas dunia dan juga ada gangguan pasokan global dan domestik. Penyumbang utama inflasi tahunan di antaranya komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga dan tarif angkutan udara.

Begitu juga dengan nilai tukar yang secara tren mengalami kenaikan dari kisaran Rp14.000 hingga kini menjadi di atas Rp15.000. Bank Indonesia (BI)  merespons dengan menaikkan BI Rate menjadi 5,25 persen pada November 2022.

“Merespons dari inflasi yang ada di Indonesia. Kalau kita lihat bulan Agustus-September 2022,  inflasi terjadi 5,9 persen. Lalu  direspon bank sentral menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen,” ungkap Eisha.

Ahli Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyatakan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia telah bersinergi cukup baik sejak pandemi Covid-19 berlangsung hingga saat ini di masa pemulihan. 

Terlihat dalam menjalankan kebijakan moneter menjaga inflasi dan nilai tukar, BI  juga membantu kecukupan anggaran pemerintah dengan skema burden sharing pada Surat Berharga Negara (SBN).

Sementara di sisi fiskal, pemerintah telah melakukan efisiensi belanja dengan mengalihkan dan mengurangi proporsi belanja pegawai. Termasuk mengalihkan pada belanja untuk menopang kesejahteraan masyarakat dalam bentuk belanja sosial dan belanja lain.

Namun demikian kata Eisha, pencapaian sasaran target pembangunan di 2023 yang lebih tinggi dari sasaran 2022, perlu mendapat perhatian. 

Hal ini karena tantangan resesi global tahun  2023 dapat mempengaruhi ekonomi domestik. “Trade off antara inflasi dan tingkat pengangguran pada jangka pendek perlu mendapatkan perhatian untuk mencapai sasaran target tingkat pengangguran di 2023,” ujarnya

Selain itu, menurut Eisha, inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli dan mempengaruhi tingkat kemiskinan dan kesenjangan.

Eisha pun menyarankan pemerintah mencari exit strategy yang tepat untuk program-program bantuan dengan menjadikan masyarakat lebih mandiri. Yaitu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sesuai target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)  untuk menjaga fiskal tanpa mengeluarkan anggaran yang terlalu besar.

Head of Macroeconomic & Financial Research Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, memperkirakan inflasi nasional turun pada 2023. Proyeksi tersebut didasarkan pada indikasi inflasi secara tahunan (year on year/yoy) pada November 2022 sebesar 5,4 persen atau lebih rendah dari perkiraan sebesar 6,3 persen. 

“Diperkirakan inflasi mencapai sekitar 5,4-5,6 persen pada akhir 2022,” tandasnya.

Exit mobile version