octa vaganza
Fokus  

Industri Rokok Tersengat dan Geram

Dampak kebijakan cukai-HJE rokok 23-35% itu tak hanya memukul industri kecil. Industri menegah dan besar pun akan ikut merasakan. PHK tak hanya menghantui industri skala kecil. Masing-masing perusahaan akan melakukan rasionalisasi dalam 3 bulan ke depan.

TAK ada angin, tak ada ribut. Sekonyong-konyong cukai rokok (mau) dinaikkan. Angka kenaikannya agresif. Bukan 10% seperti biasa. Melainkan 23%, dan untuk Harga Jual Eceran (HJE) kenaikannya 35%. Prosesnya mendadak. Tidak dikomunikasikan. Industri rokok tidak dimintai masukan, apalagi ikut membahasnya. Ada pertemuan di Istana Kepresidenan, lalu (‘kebijakan’ itu) dimunculkan begitu saja jadi berita. Tahun 2016, ada wacana serupa: harga sebungkus rokok naik dari Rp20.000 jadi Rp50.000.

Bagaimana angka 23% dan 35% itu muncul? Belum terklarifikasi, memang. Alasan versi Dirjen Bea Cukai dan Badan Kebijakan Fiskal, karena tahun lalu cukai rokok tak naik. Seakan-akan dirapel, begitulah. Kalangan industri rokok kaget, karena belum pernah terjadi kenaikan cukai/HJE setinggi itu. Perkiraan yang umum di sekitar angka 10%. Tapi, itu pun seyogianya setelah mempertimbangkan semua mata rantai industri tembakau—yang meliputi petani, pekerja, pabrik, pedagang, hingga konsumen.

Pemerintah memplot, kebijakan itu mulai berlaku 1 Januari 2020. Bersamaan dengan cukai dan HJE, diberlakukan pula simplifikasi tarif cukai. Golongan (layer) rokok yang saat ini terdiri atas 12 tarif disederhanakan menjadi 5 layer tarif cukai saja. Lebih jauh dari itu, ujar Anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Kordat Wibowo, sekaligus juga menggabungkan perusahaan-perusahaan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Dua bandul yang sekaligus menghantam industri rokok niscaya berdampak telak. Kebijakan yang dikeluarkan terhadap industri ini, ujar Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, akan menentukan keberlangsungan salah satu industri yang sudah lama menjadi lokomotif perekonomian Indonesia ini. Cukai merupakan penerimaan negara terbesar ketiga, dimana 95% di antaranya berasal dari cukai hasil tembakau.
            Masalahnya, “Produk IHT ini high regulated. Yang dihasilkan rokok tadi berasal dari serangkaian regulasi. Mungkin harga yang membentuk ini, harga kemasan mahal. Satu batang rokok, tenaga kerja biaya dan lainnya mungkin hanya sekitar 20 persen, 80 persennya regulasi cukai, PPN,” kata Enny dalam sebuah Diskusi Bulanan Indef di Restoran Tjikini Lima.
            Sejumlah kebijakan sudah dirilis pemerintah terhadap industri ini. Di antaranya penerapan tarif cukai, PPN pajak rokok, hingga tarif bea masuk terhadap impor tembakau. Nyatanya, kebijakan-kebijakan di industri ini pun kerap memicu polemik lantaran setiap tahun muncul kebijakan baru yang harus diterapkan. Itu artinya, belum tuntas menanggulangi beban lama, sudah datang pula beban yang baru.
            Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 Tahun 2017, misalnya, berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau. “Beban fiskal yang diberikan untuk industri ini relatif tinggi. Dan ini berpengaruh terhadap kenaikan dibandingkan dengan laba, GDP. Kenaikan tarif cukai, PPN, melampaui pertumbuhan GDP kita,” kata Enny.

Lalu, apa yang akan terjadi ketika kebijakan 23-35% itu diterapkan tahun depan? Yang pasti, dampak kumulatif yang ditimbulkannya tak sulit diprediksi. Pastinya tak akan jauh berbeda dibanding dampak kebijakan serupa di tahun-tahun lalu. Kebijakan pemerintah kali ini pun dinilai mengganggu ekosistem industri. Yakni terpangkasnya tenaga kerja di IHT. Kemudian, serapan tembakau dan cengkih dari petani juga akan berkurang 30%. Volume produksi bakal menciut 15% pada 2020.

Padahal, IHT merupakan industri strategis yang kontribusinya terhadap pendapatan negara salah satu yang terbesar, yaitu kurang lebih 10% dari total APBN atau sebesar Rp200 triliun, terdiri dari cukai, pajak rokok daerah dan PPN. “Di anggota kami menyerap kurang lebih 7 juta lebih jiwa yang meliput petani, buruh, pedagang eceran dan industri terkait,” ujar Henry Najoan dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).

“Diperkirakan hanya ada 200 dari pabrik rokok dari 778 pabrik saat ini sebelum pada 2021. Penurunan tersebut termasuk pada pabrik rokok SKT (Sigaret Kretek Tangan) yang merupakan padat karya. Diperkirakan 50.000 pengurangan karyawan dari jumlah pabrik rokok tersebut,” ujar Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Abdul Rochim.

Pengalaman menunjukkan, kenaikan cukai 10% saja sontak merangsang maraknya peredaran rokok ilegal, yang telah menurun selama dua tahun terakhir. Jangan lupa, kondisi ini makin mengancam IHT—volume industrinya menurun 1-2% selama 4 tahun terakhir, bahkan 7% pada April 2018—dengan maraknya kehadiran rokok elektrik. Rokok jenis ini mulai tumbuh dengan perlakuan peraturan yang berbeda dengan rokok konvensional. Itu artinya tambahan penderitaan bagi petani tembakau karena harga tembakau sedang anjlok.

Dengan memasukkan faktor simplifikasi cukai rokok dari 12 jadi 5 layer, maka hantaman terhadap industri rokok jadi berganda. “Simplifikasi membuka peluang bagi perusahaan mega besar menjadi lebih besar dengan mengorbankan usaha kecil dan mengancam keberlangsungan industri kecil. Industri IHT kecil akan meminta pertolongan pada industri IHT skala besar. Kebijakan ini berpotensi memperkuat oligopolistik di IHT,” kata Anggota Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo.

Bakal sulit terhidari bahwa Rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) produksinya akan naik, sedangkan produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) akan terjun bebas. “Kenaikan SKM dan SPM itu limpahan dari penurunan SKT,” ujar Kodrat. Mirisnya, selama empat tahun, SKT mengalami penurunan produksi tertinggi. Rata-rata turun 6,1% per tahun. Penurunan terbesar pada SKT golongan ll, rata-rata turun 10,3% per tahun.

Perusahaan IHT skala besar akan bertahan pada kebijakan simplifikasi, sedangkan posisi industri menengah ke bawah akan rentan. “Simplifikasi akan berimbas pada berkurangnya jumlah industri IHT, karena tarif cukai naik tajam membuat harga rokok kelas menengah ke bawah naik dan berujung pada PHK di IHT,” ujar Abdul Rochim.

Dampak kebijakan cukai-HJE rokok 23-35% itu tak hanya memukul industri kecil. Industri menegah dan besar pun akan ikut merasakan. Tapi masing-masing industri punya daya tahan yang berbeda-beda, tergantung modal yang mereka miliki. Pengurangan tenaga kerja (PHK) tak hanya menghantui industri skala kecil. Di industri golongan I, II dan II; besar, menengah, kecil, akan merata dan itu nggak bisa dihindari. “Pasti masing-masing perusahaan akan melakukan rasionalisasi dalam tiga bulan ke depan,” ujar Kodrat Wibowo.

Nego macam apa yang tengah diupayakan agar IHT tidak terkubur dan pemerintah  memperoleh kenaikan income dari cukai? Atau, agar pemerintah terhindar dari kekecewaan “rencana tersebut tidak pernah dikomunikasikan dengan pelaku usaha” seperti disebut dari Sulami Bahar dari Gapero (Gabungan Pengusaha Rokok) Surabaya. Juga dari tuduhan “sengaja mau mematikan industri hasil tembakau dengan kenaikan cukai yang benar-benar di luar nalar” seperti diutarakan Henry Najoan. 

Sulami menyebut masih mencoba membicarakan hal ini dengan lebih santun kepada pemerintah. Tetapi jika pemerintah sudah tidak menanggapi, kita mungkin bisa saja melakukan upaya hukum,” tambah Sulami. “Harapannya, tolong pemerintah untuk membuat sebuah regulasi, berikanlah sebuah kepastian hukum pada kami. Jangan membuat regulasi yang mematikan industri,” tuturnya.

Agar kebijakan cukai pada 2020 mencerminkan asas keadilan, Direktur HM Sampoerna, Troy Modlin, menawarkan tiga rekomendasi. Pertama, menggabungkan volume produksi SPM dan SKM menjadi 3 miliar batang per tahun. Kedua, pastikan tarif cukai SKM/SPM lebih tinggi dari tarif cukai SKT. Saat ini, tarif cukai SKM Rp 370-590 (per batang), tarif cukai SPM Rp 355-625; sedangkan, tarif cukai SKT Rp 100-365. Ketiga, pemerintah diminta tetap mempertahankan batasan produksi untuk SKT golongan II sebesar maksimal dua miliar batang per tahun. Pihak Gapero Surabaya menambahkan beberapa masukan. Pertama, perlunya perlindungan berupa insentif tambahan bagi golongan SKT yang merupakan segmen padat karya. Kedua, hendaknya pemerintah memberi preferensi tambahan untuk segmen SKT, antara lain: perluasan batas jumlah produksi khususnya golongan II dan III; preferensi tarif cukai dan HJE semua golongan. Ketiga, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi. Keempat, mempertahankan pengendalian harga transaksi pasar (HTP)  dengan pembatasan minimum 85 persen dari HJE.

Exit mobile version