JAKARTA—-Salah satu industri di tanah air yang tidak gemetar terhadap turunnya nilai rupiah terhadap dolar adalah industri hijab. Sekalipun pernah mengalami titik jenuh, tetapi desainer dan pemain bisnis hijab terus bermunculan dengan kreativitas, seperti kata anak muda “nggak ada matinya”.
Sehingga jumlah pasti pemainnya di Indonesia, tidak bisa didata dengan angka yang pasti. Data Kemenperin hanya menyebutkan hingga pertengahan 2016 di antara sekitar 750 ribu IKM sandang di Indonesia, sekitar 30 persen adalah busana muslim.
Terbukti dalam Hijab Market 2018 yang digelar di Sasana Budaya ITB sejak 4 hingga 6 September diiukti 100 tenant busana muslimah dalam negeri dan dikunjungi puluhan ribu hijaber. Omzet event ini pada 2018 menembus Rp15 miliar, naik nyaris dua kalipat dibanding 2017 sebesar Rp8 miliar. Padahal pada 2012 omzetnya hanya sekitar Rp3 miliar.
Pada 2018 ini industri busana muslim diproyeksi menyerap sekitar 1,1 juta orang tenaga kerja dari total jumlah pekerja di industri fashion sebesar 3,8 juta orang atau lebih dari 25 persen. Pada 2017 industri busana muslimah memberikan kontribusi sebesar Rp54 trilun dari Rp181 triliun triliun sumbangan industri fashion keseluruhan.
Data dari Kementerian Perdagangan pada 2017 menunjukkan sekitar 80 persen produk pakaian muslim dijual untuk pasar domestik, sementara 20 persen sisanya diekspor.
Pasar domestik saja masih kencang, mengingat data 2012 menyebutkan pengguna busana muslim 20 juta dari populasi dan jumlah itu pasti bertambah.
Pada 2016 nilai ekspor busana muslim mencapai 4,57 miliar dolar AS. Sayangnya Kemenperin tidak memberikan data berapa nilai ekspor busana muslim pada 2017, hanya menyebut ekspor fashion secara keseluruhan pada tahun itu mencapai 13,7 miliar dollar AS.
Pada 2018 ini Kemenperin mentargetkan kenaikan ekspor busana muslimah meningkat hingga 10 persen. Global Islamic Economy sendiri memprediksi pertumbuhan pasar fashion muslim dunia pada 2020 akan mencapai US$ 327 miliar. Dengan demikian peluang industri hijab masih sangat terbuka.
Kreativitas dan Segmentasi Terbuka
Menurut Nunik Utami Ambarsari, owner dari Savanah Hijab dari Jakartam bisnis busana muslimah masih sangat prospek. Sebab pengguna jilbab juga meningkat. Perkembangan busana muslim di Indonesia sangat pesat bahkan saat ini Indonesia menjadi salah satu kiblat busana muslim dunia.
“Masing-masing pengusaha jilbab pun punya segmen masing-masing. Segmentasi ke kalangan menengah, dengan usia remaja hingga dewasa. Bahkan bisa digunakan oleh non muslim. Misalnya kerudung pashmina digunakan sebagai syal untuk orang-orang non muslim,” tutur Nunik kepada Peluang beberapa waktu lalu.
Fathia Pratiwi, owner Thia Label dari Bandung beberapa waktu lalu juga mengungkapkan hal yang senada. Selain soal segmen katanya, kekuatan produk busana muslimah terletak pada hasil desainnya (biasanya setiap model dibaut terbatas). Kekuatan seorang desainer busana muslimah ini terletak pada kreativitasnya yang tiada henti. Dia juga rajin mengamati fashion week dunia.
Ilustrasi peragaan busana muslimah-Foto: Langitsatu.com.“Desain sama mahalnya dengan tulisan tangan, tidak akan mungkin sama persis. Keseragaman yang terjadi pada pasar busana muslim yang ada saat ini, adalah karena proses tiru-meniru. Lack of creativity. Hasilnya, persaingan dalam taraf tertentu bukan lagi soal penghargaan pada karya, tapi hanya soal harga. Kualitas adalah pertimbangan nomer dua,” katanya mengingatkan (van).