
PeluangNews, Jakarta-Indonesia menegaskan komitmennya untuk mendorong reformasi sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan inklusif menjelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-14 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang akan digelar di Kamerun pada Maret 2026.
Komitmen tersebut disampaikan Wakil Menteri Perdagangan RI Dyah Roro Esti Widya Putri saat menyampaikan pidato kunci dalam Strategic Forum Perdagangan Internasional: Masa Depan WTO Pasca-KTM ke-14 Maret 2026 yang digelar secara virtual dari Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/12).
“Pada KTM WTO ke-14, Indonesia akan mengambil peran sebagai negara kunci dalam memperjuangkan reformasi sistem perdagangan multilateral yang inklusif dan berpihak pada pembangunan negara berkembang. Hal ini sejalan dengan misi konstitusional untuk memajukan kesejahteraan umum melalui perdagangan yang adil,” ujar Wamendag Roro.
Ia menegaskan, Indonesia akan aktif mengawal sejumlah isu prioritas. Di antaranya reformasi WTO, khususnya pemulihan fungsi penyelesaian sengketa, kepastian hukum kebijakan public stockholding untuk ketahanan pangan, serta perlindungan nelayan kecil dalam pembahasan subsidi perikanan.
Selain itu, Indonesia juga mendorong pengaturan niaga-el (e-commerce) yang tetap menjaga kedaulatan digital dan ruang fiskal nasional, fasilitasi investasi yang berorientasi pada pembangunan (investment facilitation for development/IFD), serta menuntut perpanjangan atau penghapusan permanen moratorium Non-Violation and Situation Complaints (NVSC) dalam Perjanjian TRIPs.
Menurut Wamendag Roro, penguatan posisi Indonesia di KTM ke-14 WTO hanya dapat dicapai melalui sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam semangat Indonesia Incorporated. Ia pun mengajak akademisi, praktisi hukum, pelaku usaha, dan media untuk bersama-sama mendukung perjuangan Indonesia di WTO demi kepentingan nasional dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Sejalan dengan itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI, Djatmiko Bris Witjaksono, menekankan pentingnya WTO sebagai satu-satunya organisasi perdagangan dunia yang menjadi jangkar sistem perdagangan berbasis aturan (rules-based trading system).
“Forum ini menjadi sarana bagi pemerintah untuk menerima masukan tentang bagaimana sebaiknya Indonesia berkiprah di WTO. Perjuangannya tidak mudah, tetapi kita harus tetap optimistis di tengah situasi global yang sangat kompleks,” kata Djatmiko.
Forum kemudian dilanjutkan dengan sesi gelar wicara bertema “Memperkuat Posisi Indonesia pada KTM WTO ke-14” yang menghadirkan narasumber lintas sektor. Djatmiko kembali menegaskan bahwa prioritas utama Indonesia adalah memulihkan sistem penyelesaian sengketa WTO yang saat ini belum berjalan optimal.
Duta Besar RI untuk WTO, Nur Rakhman Setyoko, menyoroti dinamika politik di Jenewa yang dinilai menantang, khususnya terkait belum berfungsinya badan banding WTO secara optimal. Menurutnya, Indonesia perlu menempatkan penyelesaian sengketa sebagai prioritas utama dalam sistem perdagangan multilateral.
Dari sisi praktisi, pengacara hukum perdagangan internasional Joseph Wira Koesnaidi menilai Indonesia sebagai salah satu anggota WTO paling aktif, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Ia menekankan pentingnya pendekatan fleksibel, termasuk pemanfaatan mekanisme alternatif seperti Mutually Agreed Solution (MAS) dan arbitrase, untuk melindungi kepentingan nasional.
Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prita Amalia, menekankan pentingnya special and differential treatment (SDT) bagi negara berkembang seperti Indonesia. SDT dinilai krusial untuk menjaga legitimasi dan keberlanjutan WTO sebagai sistem perdagangan global.
Dari kalangan dunia usaha, Policy Manager APINDO Sherly Susilo menilai peran WTO cenderung melemah di tengah meningkatnya hambatan perdagangan. Meski demikian, WTO tetap dianggap penting sebagai bagian dari strategi perdagangan Indonesia. Hal senada disampaikan partner Baker McKenzie, Pablo Bantes, yang menilai WTO masih memberikan kepastian melalui prinsip Most Favoured Nation (MFN) yang menguntungkan Indonesia.
Strategic Forum ini juga mendapat apresiasi dari peserta, salah satunya Juaria Astri, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Achmad Yani Bandung. Ia menilai forum tersebut memberikan wawasan penting tentang posisi dan strategi Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional di tengah kompleksitas perdagangan global.








