octa vaganza

Indonesia Miliki Fasilitas Pengelolaan PCBs Pertama di Bogor

INDONESIA memiliki fasilitas pengelolaan Polychlorinated Biphenyls (PCBs) non thermal yang pertama, bertempat di Bogor, Jawa Barat.

Fasilitas ini merupakan salah satu proyek kerjasama teknis antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama United Nations Industrial Development Organization (UNIDO).

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati menegaskan komitmen Indonesia dalam mendukung pencapaian target global pemusnahan PCBs pada akhir tahun 2028.

“Hari ini, 22 tahun sejak penandatanganan Konvensi Stockholm atau 14 tahun sejak ratifikasi, Kementerian LHK menegaskan bahwa tidak ada yang berubah dari komitmen tersebut. Bahkan komitmen tersebut hanya semakin kuat dan akan segera diintegrasikan dan diimplementasikan melalui penguatan berbagai mekanisme nasional terkait pengawasan kinerja pengelolaan lingkungan, di antaranya melalui mekanisme PROPER,” kata Vivien dalam keterangan resmi, Kamis (18/5/2023).

Terkait komitmen Indonesia untuk menghilangkan PCBs, KLHK telah mendapatkan hibah dari UNIDO melalui pendanaan dari Global Environmental Fund (GEF) berupa pembangunan fasilitas pemusnahan PCBs yang memperkenalkan metode non-thermal atau non-combustion pertama di Indonesia.

Fasilitas tersebut dioperasionalisasikan oleh PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PT PPLi) sebagai operating entity yang telah memenuhi persyaratan teknis dan lokasi sebagaimana ketentuan yang ditetapkan secara nasional. Dimana berdasarkan hasil verifikasi teknis, kinerja fasilitas pengelolaan PCBs non thermal ini sudah dalam proses mendapatkan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari KLHK.

Bahayanya Limbah PCBs

PCBs adalah senyawa yang sangat berbahaya dan beracun yang saat ini masih terdapat pada trafo dan kapasitor listrik, terutama pada minyak dielektrik (oli) yang terkandung di dalam kedua peralatan tersebut.

PCBs telah terbukti menyebabkan berbagai jenis kanker (karsinogenik), kerusakan syaraf, gangguan sistem pencernaan, memicu kemandulan dan ketidakseimbangan hormon (termasuk kebancian).

Dalam dosis yang tinggi, PCBs dapat menyebakan kematian dan keracunan massal sebagaimana yang terjadi di Jepang pada tahun 1968.

PCBs mampu mencemari tanah, air dan udara mulai dari puluhan tahun hingga waktu yang tidak diketahui karena tidak dapat terhancurkan secara alami. PCBs juga mencemari rantai makanan karena bersifat bioakumulatif dan biomagnifikasi.

Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Kementerian LHK mengungkap cemaran PCBs di Sungai Citarum, Ciliwung dan Cisadane. PCBs telah mencemari puluhan jenis ikan konsumsi di sungai dan pesisir laut Indonesia, bahkan telah terdeteksi pada air susu ibu di beberapa kota di Jawa dan Sumatera.

Fasilitas Pengolah PCBs yang diresmikan merupakan salah satu hasil (output) penting dari Proyek PCBs antara Kementerian LHK dengan UNIDO, sekaligus milestone penting dalam memusnahkan 200 ribu ton limbah PCBs cair dan 600 ribu ton lainnya material padat terkontaminasi PCBs.

“Fasilitas ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia yang mengadopsi metoda pemusnahan non-combustion atau non pembakaran. Jika metoda pemusnahan pembakaran menghasilkan emisi CO2 dan berpotensi membentuk senyawa beracun Dioksin dan Furan, maka teknologi non pembakaran sama sekali tidak akan menghasilkan emisi gas-gas yang berbahaya,” ungkap Vivien.

Perwakilan UNIDO Indonesia Salil Dutt mengungkapkan bahwa UNIDO secara global mempromosikan penggunaan metoda non pembakaran untuk pemusnahan PCBs karena lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan rekomendasi Konvensi Stockholm.

“UNIDO berkomitmen mendukung negara pihak untuk memusnahkan PCBs merujuk kepada Best Available Technology (BAT) yang direkomendasikan oleh Konvensi Stockholm, terutama metoda non pembakaran,” ucap dia.

Hingga saat ini UNIDO telah mendukung pemusnahan PCBs di 32 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika melalui skema kerja sama dengan GEF. Total dana hibah GEF yang telah dikelola adalah sebesar USD 80 juta dan didukung penyertaan anggaran dari para mitra sebesar lebih dari USD 360 juta.

Sementara ini, jumlah limbah PCBs yang telah dimusnahkan adalah lebih dari 24 ribu ton dan akan terus bertambah hingga akhir tahun 2028.

Peta jalan dalam mencapai penghapusan PCBs dari bumi Indonesia cukup menantang. Saat ini diperkirakan terdapat minimal 1,2 juta unit trafo aktif yang dimiliki oleh industri tanah air, terutama dari sektor yang membutuhkan dan mengelola energi listrik besar seperti industri pembangkitan, minyak dan gas, kimia, pulp dan kertas, besi baja, pertambangan serta manufaktur.

Dari jumlah tersebut, hampir 10% di antaranya diduga terkontaminasi PCBs dengan total potensi limbah sebesar lebih dari 800 ribu ton yang sebagian besar bersumber dari kontaminasi silang PCBs. (Ajie)

Exit mobile version