octa vaganza

Indonesia Butuh Mekanisasi Pertanian untuk Pemenuhan Pangan Nasional

Peluangnews, Jakarta – Tantangan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia harus disikapi serius, seiring dengan tren meningkatnya konsumsi dalam negeri. Untuk menjawab masalah itu, faktor terpenting ialah investasi dan mekanisasi pada sektor pertanian.

“Produksi pangan dalam negeri tidak mungkin mengikuti tren konsumsi yang meningkat. Perdagangan internasional perlu dimaksimalkan untuk menyediakan pasokan untuk memenuhi permintaan,” ungkap Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dari siaran persnya, pada Jumat (7/7/2023).

Pertumbuhan ekonomi dan upaya penurunan kemiskinan, menurut Aditya, tidak akan berdampak signifikan untuk mengatasi kerawanan pangan jika pangan tidak tersedia. Lebih jauh lagi, kurangnya pasokan pangan juga bisa dapat berdampak pada masalah gizi karena dan asupan kalori sekitar 26 juta orang berpenghasilan rendah, yang menyebabkan kerawanan pangan, malnutrisi, dan kemiskinan.

Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan berupa permintaan pangan yang diproyeksikan tidak dapat dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri. Dari tahun 2018 hingga 2021, permintaan beras, jagung, tepung terigu, dan kedelai nasional secara bertahap meningkat di Indonesia, dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata tahunan hampir 300.000 ton beras, 16.000 ton jagung, 26.000 ton tepung terigu, dan sekitar 144 ton kedelai.

Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) terbaru yang berjudul Future Food Demand in Indonesian Poor District atau Proyeksi Kebutuhan Pangan di Daerah miskin Indonesia memproyeksikan permintaan pangan hingga tahun 2045 di 20 kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Di masa depan, permintaan pangan di wilayah termiskin tersebut diperkirakan masih berada di bawah standar asupan kalori harian untuk sumber karbohidrat seperti beras, jagung, dan tepung gandum.

Hal ini terlepas dari jumlah permintaan beras, jagung, dan tepung terigu di 20 kabupaten tersebut yang diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sebesar 1,20% (beras), 1,27% (jagung), dan 6,24% (tepung terigu).

Jika pasokan pangan di kabupaten-kabupaten tersebut tidak terpenuhi, maka Visi Indonesia 2045 untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas melalui pola konsumsi yang sehat akan sulit dicapai, terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Aditya menambahkan, proyeksi tersebut menunjukkan adanya dampak yang serius jika Indonesia gagal memastikan ketersediaan bahan pangan pokok seperti beras, jagung, dan tepung terigu di daerah termiskin.

Menurutnya pendekatan holistik harus diambil dengan empat perubahan kebijakan. Pertama, permintaan pangan yang diproyeksikan meningkat di masa depan dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas secara signifikan. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan adopsi teknologi pertanian yang lebih merata.

Peningkatan akses terhadap teknologi pertanian salah satunya dapat dicapai melalui iklim kebijakan yang lebih ramah terhadap penanaman modal di bidang pertanian dan dengan mengurangi dominasi sektor publik (program pemerintah maupun BUMN/BUMD) di bidang pertanian yang mengurangi ketertarikan swasta.

Bantuan peralatan, mesin, maupun inovasi lain di bidang pertanian seperti varietas unggul baru sudah banyak disediakan oleh pemerintah. Hanya saja, sasaran serta aspek keberlanjutan dari program-program ini masih perlu ditingkatkan.

Di sisi lain, sudah banyak program serupa dari sektor swasta. Karenanya, yang kedua, pemerintah dinilai perlu mengevaluasi program-programnya untuk menghindari duplikasi dan meningkatkan kesinambungan dengan inisiatif swasta dan masyarakat.

Ketiga, peran perdagangan internasional dalam mencapai ketahanan pangan perlu dimaksimalkan. “Penerapan hambatan-hambatan non-tarif seperti kuota dan rekomendasi impor perlu dievaluasi untuk melihat dampaknya terhadap ketahanan pangan. Hambatan yang meningkatkan biaya dan menghambat akses terhadap pangan bergizi dan seimbang bagi konsumen berpenghasilan rendah perlu diminimalisir,” terang Aditya.

Keempat, pemerintah harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk melaksanakan reformasi ini. Pangan dan pertanian adalah sektor yang rumit dan pendekatan holistik untuk perbaikan membutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta. (Aji)

Baca Juga: Diklat Kementerian Pertanian Tidak Bisa Diterapkan Full 

Exit mobile version