hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

INDEF Ungkapkan 8 Pertanda Kegawatan Ekonomi Indonesia

sumber: Kementerian Keuangan

Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 sebesar 4,87 persen (yoy) menjadi alarm bagi pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.

Oleh karena itu, lembaga studi tersebut menilai diperlukan penguatan kebijakan ekonomi untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut.

Ini dia 8 poin catatan INDEF yang jadi pertanda kegawatan ekonomi Indonesia saat ini, yang memerlukan respon cepat dari pemerintah.

  1. Ekonomi Indonesia rentan terdampak perlambatan ekonomi global.

Menurut Head of Center of Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman, proyeksi IMF yang menunjukkan perlambatan ekonomi global ke 2,8 persen (dibandingkan outlook sebelumnya 3,3%) pada 2025 menandai fase stagnansi dunia pasca-krisis.

“Hal ini akan berimplikasi pada melemahnya ekonomi Indonesia. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah tanpa lompatan industrialisasi menjadikan Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal,” ujarnya melalui keterangan pers yang diterima Peluang, hari ini (8/5).

  1. Waspadai ‘dual shocks’ yang menggerus neraca perdagangan akibat volatilitas harga komoditas.

Rizal mengatakan implikasi volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik “dual shocks” bagi Indonesia, yakni satu sisi, positive revenue shock dari lonjakan harga batubara dan minyak mentah yang berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti, namun sifatnya temporer dan tidak inklusif.

Di sisi lain, negative margin shock dari anjloknya harga nikel dan CPO yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan.

  1. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2025 di bawah bayangan dan ancaman stagnansi ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi 4,87 persen (yoy) merupakan alarm keras ‘early warning’ bahwa narasi optimisme pemerintah tidak lagi berakar pada realitas. Pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural.  “Artinya, ambisi pertumbuhan tinggi sebesar 8 persen hanya jargon politi’ tanpa dasar empiris dan data,” ujarnya.

  1. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 (yoy) sisi permintaan: investasi dan konsumsi kolaps, belanja pemerintah malfungsi.

Investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah memperlihatkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Lebih ironis lagi, konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi jangkar pertumbuhan justru dikontraksi oleh efisiensi anggaran sebesar Rp 300 triliun.

  1. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 (yoy) sisi penawaran: hilirisasi hanya jadi simulasi, industri kehilangan nafas.

Menurut kajian INDEF, pertumbuhan tinggi sektor pertanian yang berbasis musiman hanya menutupi stagnansi mendalam sektor manufaktur dan pertambangan—dua pilar utama- hilirisasi. Pemerintah terlihat masih belum berhasil mendorong sektor-sektor ini menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.

  1. Rezim suku bunga tinggi dan kebijakan efisiensi anggaran membuat likuiditas perekonomian mengering.

Rizal mengatakan suku bunga kebijakan (BI Rate), suku bunga SRBI, dan yield SBN naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi. Situasi tersebut diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang ‘kebablasan’ sehingga semakin menyusutkan perputaran likuiditas di sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

  1. Dunia usaha lesu, pertumbuhan kredit layu.

Laju kredit Maret 2025 menurun ke 8,7 persen, sebelumnya di Februari tumbuh 9,7 persen. Padahal pada Maret 2025 ada momentum Ramadhan dan Lebaran. Hal ini menggambarkan semakin lemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

  1. Urgensi kombinasi kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Rizal, di saat ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian, Indonesia seharusnya semakin intens melihat potensi ekonomi domestik. Pemerintah juga perlu menguatkan fungsi stimulus fiskal yang berdampak langsung terhadap konsumsi.

“Industri pengolahan juga perlu mendapat dukungan dari berbagai sektor yang menjadi ekosistem industri, seperti dukungan energi, logistik, infrastruktur, tenaga kerja, fiskal, hingga perdagangan,” ujarnya.

pasang iklan di sini