Diskusi INDEF-Foto: Irvan Sjafari.
JAKARTA-—Peneliti ekonomi senior dari Institute for Development of Economi and Finance (INDEF) Nawir Messi mengingatkan pemerintah yang mendatang, siapa pun Presidennya akan menghadapi berbagai permasalahan kritis ekonomi Indonesia.
Di antaranya, saat ini rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa hanya mampu mencapai 5, 27 persen. Realisasi pertubuhan ekonomiselamma era reforasiini beluampu menyamai yang pernah dicapai orde baru.
“Jika pertumbuhan tak mampu didorong lebih tinggi, maka Indonesia akan sulit keluar drai negara berpendapatan menengah untukbisa menjadi negara maju,” ujar nawir dalam diskusi “Pemanasan Debat kelima: Tantangan Ekonomi dan Kesejaterahan Sosial” di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Nawir juga menyoroti walaupun pada pemerintahan Jokowi kawasan Timur sudah mulai mendapatkan perhatian, tetapi kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa masih dominan, yaitu sebesar 58,4 persen.
Persoalan kedua, Nawir juga menyebutkan Indonesia masih terkendala dalam daya saing investasi. Reformasi hanya mencakup Pemerintah Pusat saja tidak ke daerah. Lemahnya daya saing Indonesia tampak pada peringkat kemudahan bisnis pada posisi 73, di bawah Vietnam pada peringkat 69.
“Persoalan lainnya ialah daya saing produk dalam negeri lemah dalam menghadapi produk impor. Kontribusi impor konsumsi sudah mencapai 9% dalam tiga tahun terakhir, setelah selama 16 tahun berada di posisi 7-8%. Tingkat dependensi industri terhadap impor masih tinggi. Impor bahan baku masih menyumbang 70% dari keseluruhan impor , ” papar Nawir.
Dia juga mengungkapkan Revolusi Industri 4.0 tidak lebih dari sekadar euforia dan gimmick politik. INDEF mencatat terdapat dua sebab mengapa industri 4.0 hanya dipandang sebagai gimmick politik dibandingkan perencanaan ekonomi yang matang.
“Tidak adanya perencanaan yang mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor prioritas dan tidak ada perencanaan infrastruktur dasar industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT),” pungkasnya (Irvan Sjafari).