
Peluang News, Jakarta – Indef (Institute for Development of Economics and Finance) menilai reshuffle kabinet yang dilakukan menjelang akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo sarat akan kepentingan politik. Hal itu justru tidak efektif dalam upaya perbaikan ekonomi yang saat ini penuh ketidakpastian.
“Ini justru berdampak buruk karena menggambarkan kepada dunia bahwa pergantian orang-orang penting di Indonesia itu bisa seketika begitu saja. Tanpa analisi yang mendalam, mendadak dan untuk kepentingan sesaat,” ujar pengamat Indef Faisal Basri, dalam Diskusi Publik INDEF ‘Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa’, di Jakarta, Senin (19/8/2024).
Menurut Faisal Basri, reshuffle yang dilakukan tidak memberikan dampak positif bagi dunia usaha dan tidak ada kepastian hukum. Reshuffle hanya bagian dari konsolidasi kekuasaan dan mempercepat transisi, sehingga melibatkan tokoh-tokoh yang dekat dengan presiden terpilih.
Misalnya, dalam pergantian Menteri ESDM yang semula dipimpin Arifin Tasrif dan kemudian digantikan Bahlil Lahadalia. Menurut Faisal, itu hanya sekadar mempercepat izin pengelolaan tambang yang memang diurus Bahlil saat masih menjabat sebagai Menteri Investasi.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Pak Tasrif gitu. Tapi, ini kan memperlancar proses penguasaan tambang ya, termasuk bagi-baginya, nanti ke siapa aja lagi,” ucapnya.
Ekonom INDEF lainnya, Didin S Damanhuri menyebut penunjukan Bahlil sebagai Menteri ESDM membuat posisinya lebih kuat untuk memberi konsesi tambang ke berbagai pihak. Tapi, ada tujuan yang lebih besar dari penunjukan tersebut, yakni Bahlil didorong Jokowi untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Didin pun berharap bagi-bagi izin tambang tidak terjadi di bawah kepemimpinan Bahlil selaku Menteri ESDM. Sebab, hal tersebut akan memperlemah daya kritik organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di tengah maraknya isu lingkungan.
“Ormas seharusnya kekuatan civil society yang bisa menyeimbangkan pemerintahan jika terjadi kebijakan yang merugikan rakyat. Padahal, kita tahu di tambang ini korupsi timah Rp300 triliun dan ada kasus besar lain. Belum lagi di nikel dan sektor-sektor lain, sawit, batu bara,” ucapnya.
“Ini nggak ada balance dari civil society yang besar seperti NU, Muhammadiyah, atas suaranya atas nama rakyat bisa 200 juta itu kan lain. Sekarang sudah menerima konsesi tambang, mana mau dia melakukan kritik terhadap Jokowi. Apalagi nanti misalnya Prabowo melanjutkan tradisi kepemimpinan yang banyak kerusakan ini,” sambungnya.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan penyebab pergantian sejumlah jabatan menteri jelas didorong pertimbangan politik. Hal ini justru akan memperburuk iklim usaha karena pergantian dilakukan secara mendadak tanpa analisis mendalam.
“Bagi-bagi izin tambang tadi adalah upaya merangkul elit atas dan elit menengah atas dengan pendekatan carrot, monetary,” ucapnya. (Aji)