Jakarta (Peluang) : Kebijakan Zero Covid yang diterapkan China memberikan dampak terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Muhammad Nawir Messi mengatakan, aktivitas ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari China. Apalagi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat realisasi ekspor Indonesia ke China di atas USD 50 miliar.
Kendati China menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun apabila China mengalami kemunduran, risikonya Indonesia juga kena imbasnya. Berpengaruh terhadap perdagangan Indonesia.
“Kalau China batuk, kita mulai demam. Karena pasar ekspor kita terbesar itu China. Dan kita sangat bergantung pada demand mereka, terutama dalam batu bara,” ujar Nawir pada konferensi pers di ITS Tower, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Kondisi batuk yang dimaksud oleh Nawir adalah berkaitan dengan ekonomi China. Salah satunya kebijakan Presiden China Xi Jinping memberlakukan kebijakan Zero Covid untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Pemerintah China akan menghilangkan kasus Covid-19 di negaranya hingga nol persen.
Menurut Nawir, kebijakan ini akan berlangsung cukup lama karena menghilangkan pandemi sepenuhnya di sana sangat sulit.
Kini, kebijakan yang telah diterapkan dalam beberapa bulan terakhir tersebut tidak hanya menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut melemah. Tapi juga memberikan dampak terhadap global, termasuk Indonesia.
“Imbasnya, permintaan ekspor ke China sudah mulai menurun seperti produk metal. Dan meskipun permintaan batu bara naik, Indonesia telah berkomitmen dalam G20 untuk mulai menggarap sumber daya energi terbarukan,” ujarnya.
Maka itu, Nawir menyarakan pemerintah harus memikirkan alternatif karena komitmen menghilangkan pemberdayaan batu bara tersebut. Karena permintaan batu bara berpotensi turun ke depannya. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan Indonesia adalah menggenjot ekonomi domestik.
“Batubara meningkat, terutama karena konflik Rusia-Ukraina. Tapi jangan lupa, di G20 itu kita harus menyetop eksploitasi batu bara yang sifatnya less environmentally friendly. Jadi, itu salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan,” ungkap Nawir.
Lebih lanjut, Nawir menjelaskan, jika China tumbuh 10 persen maka pertumbuhan Indonesia akan terdongkrak sebesar 1 persen atau elastisitasnya sebesar 0,01. Sebaliknya, jika ekonomi China turun 10 persen, maka ekonomi Indonesia akan turun 1 persen.
“Jadi elastisitasnya itu 0,1 persen. Tapi sebaliknya jika ekonomi China turun 10 persen, kita turun 1 persen. Sekarang China itu kira-kira ada di 6 persen,” pungkasnya.