NUSA DUA—Direktur Departemen Asia Pasifik IMF Chanyong Rhee mengakui kemajuan luar biasa yang dilakukan oleh Asia dalam berapa dekade. Asia kini berada di garda terdepan pertumbuhan ekonomi global.
Meskipun demikian, dia dan para ekonom di Dana Moneter Internasional (IMF) member rekomendasi negara-negara di Asia-Pasifik memperlambat laju pertumbuhan ekonominya untuk mengawasi situasi dunia dan menjaga stabilitas. Apalagi beberapa negara Asia akan menghadapi pemilihan umum dalam waktu dekat.
Saran ini diberikan saat sesi diskusi media bersama Departemen Asia-Pasifik IMF saat Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia (AM IMF-WB 2018) di Nusa Dua, Bali, pada Jumat (12/10/2018).
“Berita baiknya, selama dekade ini Asia telah menunjukkan progres yang luar biasa, bahkan saat ini Asia memimpin perekonomian global bila dilihat dari angka pertumbuhan. Kawasan Asia menyumbang 60 persen pertumbuhan eknomi dunia,” ujar Changyong.
Menurut Chanyong, Asia kini menghadapi sejumlah tantangan. Dalam jangka pendek, tantangan datang dari kondisi finansial yang semakin tertekan dan dampak perang dagang. Jangka panjang, Asia harus mewaspadai tingginya pertumbuhan yang mayoritas ditopang oleh perdagangan, sehingga menurunkan produktivitas.
Dari segi digitalisasi lapangan kerja Asia juga menjadi kawasan dibandingkan kawasan dunia lain. IMF masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia sebesar 5,6 persen pada 2018 dan 5,4 persen pada 2019. Angka ini turun 0,2 persen dari proyeksi pada April.
Inflasi di seluruh Asia diprediksi naik 2,8 persen pada 2018 dan 2,9 persen pada 2019, yang berarti harga beberapa komoditas akan naik.
Tahun ini, perekonomian China diproyeksi akan tumbuh 6,6 persen namun melambat pada 2019 dengan angka 6,2 persen. Penurunan ini sebanyak -0,7 persen disebabkan oleh penetapan tarif AS, dan sebesar +0,5 persen karena stimulus dari pemerintahnya.
Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, diperkirakan akan melambat pertumbuhan ekonominya namun tetap stabil dengan angka 5,1 persen.
Jumlah utang duniasecara global bertambah banyak. Namun ekonom IMF memastikanipe utang yang dimiliki oleh negara maju dan berkembang berbeda.
“Di Asia, utang yang berasal dari perusahaan dan utang publik naik sangat pesat. Kami khawatir terjadi mis-investasi, yang kemudian bisa menjadi backfire,” tutup dia.