Peluangnews, Jakarta – Siapa sangka, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, dapat berpotensi dipecat atau diberikan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Potensi pemecatan ini dapat terjadi apabila Anwar telah resmi terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik bersama dengan hakim-hakim lainnya.
“Untuk hukuman paling beratnya adalah diberhentikan secara tidak hormat atau dipecat, bahkan jika ada unsur pidananya, misalnya penyuapan maka bisa diproses pidananya sekaligus dengan pemberhentiannya,” kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar kepada Peluangnews, Jumat (3/11/2023).
Selain itu, Abdul mengatakan, putusan perkara dengan nama pemohon Almas Tsaqibbirru ini dapat saja berubah, asalkan ada perkara baru yang permasalahannya sama atau melahirkan norma baru yang dinilai dapat mengeyampingkan norma lama. Apalagi, putusan MK ini dinilai final dan mengikat tanpa ada upaya hukum lainnya.
Senada dengan Abdul, Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus, menyampaikan, pemberikan sanksi PTDH atau pemecatan merupakan sanksi yang tepat.
Hal ini dikarenakan, dari banyaknya laporan yang dilayangkan kepada MK terkait putusan batas usia capres-cawapres, laporan tersebut didominasi oleh laporan terhadap Anwar Usman.
“Sanksi PTDH itu tepat, sanksi yang setimpal. Apalagi ada bukti-bukti otentik atas dugaan pelanggaran-pelanggaran. Bahkan, masyarakat dan DPR sudah mulai menggulirkan ancaman pemakzulan terhadap Presiden Jokowi karena diduga memperalat MK untuk dinasti politiknya,” tutur Petrus.
Sebelumnya, ada sejumlah pihak yang merasa janggal dalam dokumen perbaikan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, salah satunya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Ketua PBHI, Julius Ibrani, menjelaskan, dokumen perbaikan itu ternyata tidak ditandatangani oleh Almas sendiri. Bahkan, tanda tangan kuasa hukum Almas juga tidak terdapat dalam dokumen tersebut.
Mengenai hal ini, PBHI bersama dengan sejumlah pihak lainnya langsung melaporkan hal tersebut kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang lanjutan dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK, Anwar Usman dan kawan-kawan.
“Kami mendapati bahwa dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ujarnya.
“Jadi, kami berharap agar dokumen ini juga diperiksa. Karena kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan dapat dibatalkan permohonannya,” tambah Julius.