hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Bisnis  

ILUSI EKONOMI MENETES KE BAWAH

Oleh: Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC)

Kita kerap mendengar istilah trickle down effect economics, sebuah doktrin lama warisan para arsitek ekonomi neoklasik. Teorinya sederhana: berikan insentif besar kepada korporasi raksasa dan konglomerat, biarkan mereka menumpuk keuntungan, lalu percayalah bahwa sebagian manfaat itu akan menetes ke bawah dalam bentuk investasi baru, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati rakyat banyak.

Namun, lebih dari setengah abad doktrin itu dijadikan mantra pembangunan di Indonesia, kenyataan justru berkata sebaliknya. Alih-alih menetes ke bawah, ekonomi justru tersedot ke atas. Segelintir elite kaya makin berlimpah harta, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam ketidakpastian hidup dan beban ekonomi yang kian menyesakkan.

Data memperlihatkan ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar. Menurut laporan Oxfam (2024), satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh pendapatan nasional. Empat keluarga terkaya memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin.

Ekonomi benar-benar tersedot ke atas. Kemewahan elite yang menginap di hotel bintang lima ditopang gaji office boy dan satpam alih daya yang bahkan tak menyentuh UMR. Makan siang pegawai kantoran bergaji rendah bersandar pada marjin keuntungan rendah pedagang kaki lima yang menempel di gedung-gedung mewah tempat mereka bekerja. Kemegahan gaya hidup konglomerat bertumpu pada harga beras dan sayur mayur murah, yang nilainya dipangkas habis oleh tengkulak dari keringat petani kecil.

Kebijakan beroreintasi pada pertumbuhan yang terlalu bergantung pada modal besar, pembangunan infrastruktur padat modal, serta orientasi impor dan investasi asing tanpa syarat hanya memperlebar jurang ketimpangan. Kegagalan sistemik ini bagaikan penyakit lama yang terus diobati dengan resep lama. Bantuan sosial (Bansos) dan subsidi input bagi kelompok miskin hanya diulang-ulang tanpa menyentuh akar masalah.

Backlog perumahan kini lebih dari 15 juta unit. Generasi muda yang akan segera mendominasi struktur penduduk terancam menjadi the homeless generation. Kota-kota besar dipenuhi apartemen mewah tak berpenghuni, dijadikan ajang spekulasi bisnis elite kaya, sementara keluarga pekerja makin sulit mengakses hunian layak.

Sumber daya alam pun dikuasai segelintir elite. Alih-alih meneteskan kesejahteraan, eksploitasi tambang, hutan, dan perkebunan justru memiskinkan komunitas sekitar dan masyarakat adat.

Struktur pelaku ekonomi kita pun masih stagnan. Menurut klasifikasi Kementerian UMKM (2024), dari 64 juta pelaku usaha, 99,6 persen hidup dari usaha mikro berskala gurem. Usaha kecil hanya 138 ribu (0,35 persen), usaha menengah 80 ribu (0,05 persen), dan usaha besar hanya 5.600 (0,0006 persen).

Ironisnya, meski jumlah usaha mikro dan kecil sangat dominan, kontribusi mereka terhadap ekonomi hanya sekitar 18 persen (Suroto, 2023). Sisanya, 82 persen dikuasai usaha besar dan menengah yang pada dasarnya perpanjangan tangan korporasi besar. Dari sisi kredit perbankan, mereka hanya kebagian 3 persen dari total rasio kredit nasional (Bank Indonesia, 2023). Selebihnya kembali dikuasai usaha besar.

Akibatnya rakyat terjebak dalam daya beli rendah, akses rumah layak yang makin jauh, serta kemiskinan yang diwariskan lintas generasi. Di desa, petani kehilangan tanah akibat ekspansi perkebunan besar dan tambang. Di kota, generasi muda terperangkap kerja kontrak dengan upah murah dan masa depan suram.

Kapasitas fiskal negara juga kian tertekan. Menurut ekonom Awalil Rizky, posisi fiskal kita kini bagaikan –gali lubang buat jurang. Pembangunan terus dibiayai utang baru, penerimaan pajak rendah karena sistem pajak progresif lemah, sementara penghindaran pajak dilegalkan. Ironisnya, subsidi besar justru lebih banyak dinikmati korporasi raksasa dalam bentuk tax holiday dan berbagai insentif lainnya.

Jika inilah hasil dari doktrin trickle down, maka sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya, sebagai sebuah dongeng menyesatkan. Ekonomi tetesan kesejahteraan hanyalah mitos yang dinyanyikan para ekonom neoklasik tanpa nurani. Dalam situasi ini, mempertahankan doktrin trickle down sama saja dengan menjerumuskan bangsa lebih dalam ke jurang ketidakadilan. Mempercayainya berarti menghancurkan masa depan generasi mendatang.

Bottom-Up Economy

Sebagai tandingan, dunia mengenal pendekatan bottom-up economy, strategi membangun ekonomi dari bawah. Logikanya sederhana namun kuat: bila buruh memperoleh upah layak, petani menikmati harga adil, nelayan mendapat akses pasar, serta usaha mikro dan kecil memperoleh pembiayaan memadai, maka daya beli rakyat akan meningkat. Permintaan barang dan jasa pun naik, produksi bergerak, dan pertumbuhan ekonomi berlangsung lebih sehat serta berkeadilan.

Pendekatan ini bukan sekadar teori. Amerika Serikat membuktikannya lewat New Deal pada 1930-an, ketika Presiden Roosevelt menggelontorkan dana besar untuk proyek padat karya, memperkuat jaminan sosial, serta melindungi serikat pekerja. Hasilnya, ekonomi bangkit dari depresi besar. Brasil pun melalui program Bolsa Familia berhasil menekan kemiskinan sekaligus mendorong pertumbuhan lewat transfer tunai bersyarat kepada keluarga miskin.

Sejarah membuktikan bahwa bottom-up economy bukan utopia, melainkan strategi nyata yang mampu membalik logika timpang akibat trickle down. Tantangannya adalah bagaimana mendorong rakyat yang hidup di pinggir jalan pembangunan dan tersisih dari akses pembiayaan, teknologi, dan pasar yang adil untuk masuk ke pusat arena ekonomi dan menjadi pemain utama.

Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk membalik arah pembangunan. Dari ekonomi yang tersedot ke atas menjadi ekonomi yang tumbuh dari bawah. Pajak harus lebih progresif bagi konglomerat dan pemilik modal besar, lalu hasilnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, serta jaminan sosial.

UMK dan koperasi harus diperkuat bukan hanya dengan retorika, melainkan dukungan nyata kredit murah, perlindungan pasar, dan integrasi ke dalam rantai pasok nasional. Koperasi produksi, konsumsi, hingga koperasi perumahan perlu dijadikan ujung tombak demokrasi ekonomi yang sesungguhnya.

Upah layak dan perlindungan buruh harus dipandang bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi yang memperkuat daya beli dan menggerakkan pasar domestik. Reforma agraria sejati mesti dijalankan agar petani bangkit sebagai produsen pangan sekaligus konsumen yang berdaya.

Bottom-up economy bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan pilihan moral dan politik. Ia menempatkan rakyat kecil sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek. Jika kita konsisten dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, model ini bukanlah alternatif, melainkan jalan utama.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Hanya dibutuhkan keberanian politik untuk mengubah arah kebijakan dari ekonomi yang tersedot ke atas menuju ekonomi yang bertumbuh dari bawah. Dari trickle down yang menipu menuju trickle up yang menyejahterakan.

Pilihan ini bukan hanya soal strategi ekonomi, tetapi juga soal masa depan demokrasi dan keadilan sosial. Negeri ini harus dibangun bukan untuk segelintir orang kaya demi kepentingan mereka sendiri, melainkan oleh seluruh rakyat untuk kemakmuran bersama. Kita harus menumbuhkan kekayaan masyarakat, bukan memperkaya segelintir individu.

Jakarta, 25 Agustus 2025

pasang iklan di sini