Setelah melanglangbuana cukup jauh di lautan ilmu, khususnya perencanaan pembangunan, pertanian, kehutan, perkebunan, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Agus Pakpahan akhirnya mewakafkan dirinya ke dunia pendidikan. Senin, 29 Mei lalu, ia didapuk menjadi rektor Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin University), menggantikan Burhanuddin Abdullah yang juga senior satu almamaternya saat meraih Doctor of Philosophy (Ph.D) di Michigan State University, Amerika Serikat, 1988.
Kiprah pria kelahiran Sumedang 29 Januari 1956 ini beragam, selain kondang sebagai peneliti, dosen, perencana, pengambil kebijakan, ia juga penulis novel dan promotor seni budaya. Namun ia lebih dikenal sebagai peneliti yang andal di bidang agro ekonomi sesuai disiplin akademis ditempuhnya saat menimba ilmu Manajemen Hutan di Institut Pertanian Bogor pada 1974.
Rekam jejaknya di pemerintahan terbilang moncer dengan sejumlah jabatan penting antara lain Kepala Biro di Bappenas, Direktur Jenderal Perkebunan, Deputi Menteri Bidang Agroindustri, Kehutanan, Industri Kertas, dan Percetakan, Kementerian BUMN; Komisaris BRI, PTPN VII, VIII, XIII dan XIV, dan Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Atas sejumlah pengabdiannya yang panjang itu, pendiri Max Havelaar Indonesia Foundation ini mendapat banyak penghargaan, antara lain dari Pemerintah Indonesia ada 10 Satya Lencana, Gubernur Jawa Barat, Asosiasi Gula Indonesia, Dekan dan Alumni Fakultas Kehutanan IPB dan dari SCTV. Terkini, pada 7 Juni 2023 lalu, Ketua Umum Perhepi periode 2000-2003 ini meraih Penghargaan sebagai Akademisi, Peneliti Ilmiah dalam Mengembangkan Rice Bran sebagai Pangan Obat Alami Eksistensi dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Kini, Agus Pakpahan ditantang memimpin sebuah perguruan tinggi yang kelahirannya melekat kuat dengan perjalanan perkoperasian di Indonesia. Tentu bukan tantangan yang mudah, mengingat citra koperasi yang belakangan kurang menggembirakan. Tetapi Agus tampaknya optimistis bahwa koperasi ke depan bakal dapat tempat layak sebagaimana diamanahkan oleh para pendiri negeri, sebagai soko guru perekonomian rakyat. “Koperasi patut dikembangkan sebagai institusi yang melahirkan budaya baru, khususnya generasi milenial,” ujarnya saat berbincang dengan Irsyad Muchtar dari Majalah Peluang. Berikut petikannya.
Anda didapuk memimpin Ikopin, perguruan tinggi yang kental dengan idealisme koperasi. Apa saja program yang bakal digulirkan agar Koperasi dan Ikopin bertaji?
Yang ingin saya tekankan kini adalah mengembangkan koperasi sebagai lembaga pendidikan yang kita khususkan untuk mendalami sistem ekonomi yang bersifat win-win (untung-untung). Bukan kalah untung atau kalah-kalah. Teorinya kalau kita ingin maju bukan kompetitif, tapi kooperatif. Jadi kalau kita mau maju bersama ya harus mau kooperatif, bukannya kompetitif. Contohnya begini, kalau kita bertransaksi ada 3 kemungkinan yang terjadi yaitu menang, kalah dan draw atau seri. Dari itu ada 9 kemungkinan kalah dan menang atau draw. Yang win-win cuma satu atau 1/9 dari kemungkinan kalah menang dan draw. Dari situ kita lihat peradaban dunia itu selalu mengalahkan yang lemah, ujung-ujungnya fenomena ini berakhir dengan perang.
Masalah dihadapi Ikopin kini salah satunya adalah rendahnya minat masyarakat terhadap koperasi itu sendiri, akibat citra koperasi yang belakangan kurang menarik. Apa upaya Anda untuk membangun kembali Ikopin sebagai institusi pendidikan yang centre of excellent?
Sebelum ke sana, kita harus pahami betul, bahwa semua bangsa, apalagi Indonesia sangat beranekaragam, tetapi semuanya harus punya komitmen membangun budaya. Dan Pancasila mengatakan hal itu hanya bisa dicapai lewat musyawarah mufakat, tidak boleh ada niat untuk saling mematikan antara yang satu dengan lainnya. Dalam konteks budaya tersebut, maka Ikopin hanya akan maju jika koperasinya juga maju, Dan tujuan tersebut tidak bisa dicapai jika tidak dengan kooperatif.
Universitas Koperasi itu sangat menarik tapi regulasi kita menjadi kendala? Bagaimana perguruan tinggi koperasi bisa maju? Apa dataran operasionalnya?
Yang namanya sekolah itu investasi jangka panjang. Pertanyaannya kenapa Malaysia dan negara lain maju dan kita tidak? Karena preferensi untuk investasi dalam pendidikan rendah maka membuat dunia pendidikan lemah. Sama seperti R&D (Research and Development) itu investasi, makin tinggi bunga makin gak ada investasi di situ.
Oleh karena itu, buat saya ukurannya gampang, kalau ada lembaga atau badan usaha koperasi yang secara ekonomi sudah terbilang mapan, namun tidak ada upaya nyata untuk bertindak, menyiapkan dana atau waktu dan pikirannya untuk kelangsungan pendidikan koperasi, itu bicara di ruang kosong namanya.
Kalau koperasi disebut sebagai implementasi pasal 33 UUD 1945 tinggal dibuktikan berapa besar bangsa ini mengalokasikan dana, waktu, perhatian, tenaga untuk mengembangkan koperasi. Jadi ada kontradiktif, oleh karena itu kita berandai-andai kalau tidak ada yang bantu Ikopin, apa kita bisa kerja? Saya jawab bisa, asal kita kompak kerja sama untuk maju. Kita memang tidak punya investasi yang berupa uang, tapi kita punya sumber daya manusia yang mumpuni serta kampus yang luas. Dengan modal tersebut kita bisa mencari teman yang bisa bekerjasama dengan Ikopin sehingga akan melahirkan sirkular ekonomi. Ini dengan asumsi tidak ada yang bantu kita.
Bagaimana dengan program ke depan untuk menjadikan Ikopin pusat pendidikan kader koperasi?
Saya jelaskan ke Pembina Ikopin, mengapa kita ambil tema sirkular ekonomi? itulah jawaban untuk menyiapkan kader koperasi masa depan. Menjawab pertanyaan mengapa tidak ada satu negarapun di tropika menjadi negara maju? karena kita belum bisa menjadikan panas, lembab, sinar matahari, keanekaragaman hayati sebagai sumber daya. Kini dengan sirkular ekonomi semua itu kita jadikan sumber daya. Misalnya, bagaimana sampah diolah menjadi berkah. Ikopin ke depan nanti insyaAllah menjadi centre of excellent dalam pengembangan sirkular ekonomi, sehingga Ikopin nanti akan mempunyai program S1, S2, S3 hingga Postdoctoral, itu bisa kita kerjakan dengan mendayagunakan yang sudah ada di sini. Mudah-mudahan banyak pihak, terutama koperasi besar dan yang akan besar melihat potensi ini untuk dikembangkan.
Dalam konteks R&D dan Pendidikan kader koperasi apa yang diharapkan dari Koperasi Besar?
Paling tidak mereka bisa melihat Ikopin sebagai barometer untuk pendidikan formal maupun informal anggota terkait perkoperasian, karena Ikopin bakal dengan senang menyiapkan SDMnya untuk hal tersebut. Bagi saya sebenarnya, koperasi besar itu harus punya cita-cita besar. Misalnya bisakah koperasi besar di Indonesia punya pendapatan sama dengan CHS, koperasi terbesar di AS yang pendapatannya kurang-lebih empat kali lebih besar dari Bank BRI. Ini memang kemampuan manajerial yang dibalut dengan etos kerja yang baik. Selain itu juga harus didukung oleh budaya berpikir yang menekankan pada aspek pemberdayaan sehingga masyarakat bisa memperoleh nilai tambah ekonomi layak dari produk dihasilkan. Misalnya, 54 juta ton produksi gabah petani, berapa nilainya? Rp400 triliun. Lalu jawaban kita apa? Alih-alih bertanya investasi apa yang diperlukan untuk melipatgandakan 54 juta ton itu? Petani malah dipojokkan tidak bankable.
Apa ada asosiasi petani padi atau koperasi petani yang menanyakan itu? tidak ada. Saya datang ke AS mengunjungi Corn Growers Association, asosiasi jagung. Kantornya besar kalah kantor ditjen perkebunan di Indonesia. Cabangnya ada di Indonesia. Apa ada di Indonesia seperti itu? paling ada yang dulu pernah saya buat di perkebunan, asosiasi petani sawit Indonesia, yang lain belum ada.
Jadi kita masih miss, belum perhatikan investasi dalam SDM dan institusi. Investasi masih di sektor infrastruktur yang kelihatan. Investasi soft mind, skill pembangunan SDM sangat minim tidak kelihatan. Itu menyebabkan kita tertinggal. Oleh karena itu Koperasi Besar harus berani berinvestasi dalam SDM dan Ikopin siap bekerja untuk itu.
Bahwa koperasi kita masih tertinggal di banyak hal memang harus diakui, lalu apa saran Anda agar koperasi kita dapat tumbuh dan berdaya saing?
Saya melihat Ikopin dan koperasi di Indonesia itu tantangan. Yang jadi misteri mengapa semua ada, konstitusi ada, teori ada, kementerian juga ada, tapi kok yang terjadi begini? Kok bisa ada kasus seperti Indosurya dan kasus-kasus koperasi gagal bayar lainnya. Saya kira kita memang perlu menata ulang regulasi dan juga memberikan dukungan kepada koperasi karena faktor lingkungan masyarakat Indonesia yang lekat dengan kegotongroyongan sangat mendukung kemajuan koperasi.
Ikopin tentu akan memberikan sumbangsih keilmuan yang dapat mempercepat kemajuan koperasi. Tapi kewenangan saya sebagai rektor kan terbatas. Karena itu saya meminta izin kepada Yayasan, mari kita extend lingkungan kampus tidak hanya pendidikan tapi ikut 3 program yakni inovasi, sinergi dan promosi koperasi. Promosi ini termasuk melindungi dari hak-hal yang negatif. Koperasi yang bagus masih banyak dan harus kita promosikan sehingga dari situ bisa tumbuh investasi dan terbangunnya sirkular ekonomi. (Irsyad Muchtar)