”IJO..IJO..IJO.” Jangan salah tebak, ini bukan pekik kampanye sebuah partai politik. Ijo adalah tayangan produk iklan rokok yang pernah muncul di televisi.
Kendati bungkusnya berwarna kuning oleh penonton tetap disambut dengan senyum. Ini memang iklan lucu sekaligus inovatif. Dalam konsep positioning, rokok berbungkus kuning itu berhasil menanamkan image ”ijo” di benak konsumen.
Sebagai sebuah promosi dagang, iklan tentu saja harus kreatif karena ia sekaligus jadi sarana paling ampuh memikat konsumen. Memang menguras biaya produksi yang mahal, namun sebuah perusahaan yang melek pasar, tak akan berhenti beriklan sekalipun di masa sulit.
Itu sebabnya, setiap hari, tak terbilang derasnya serbuan iklan menyerbu ke dalam rumah kita. Mulai dari iklan sabun mandi, obat nyamuk, mobil mewah, hingga iklan partai politik.
Mau tau berapa besar biaya pasang iklan yang siang malam terus ’mengganggu’ kehidupan kita?
Data Nielsen Indonesia mencatat total belanja iklan sepanjang tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun, meningkat 8% dari tahun sebelumnya Rp 134,8 triliun. Pangsa pasarnya masih didominasi media TV (80%), sedangkan tren iklan di koran, majalah dan tabloid turun seiring merebaknya komunikasi digital.
Masih mengacu pada data Nielsen, dalam sepuluh tahun terakhir belanja iklan pemerintahan dan partai politik masih dominan. Terlebih di tahun ”panas” saat ini, setiap hari Anda bakal dikunjungi oleh sosok pimpinan partai politik yang ngebet mau jadi penguasa negeri.
Minat partai politik untuk beriklan marak sejak iklim reformasi bergulir. Partai politik memang tak lagi organisasi ecek-ecek atau sekadar ornamen politik seperti di masa Orde Baru.
Partai kini adalah mesin politik yang dahsyat jika di-manage melalui strategi marketing yang tepat. Layaknya sebuah perusahaan, para pengurus partai politik juga perlu memposisikan platform perjuangan partainya ke benak konsumen (massa).
Berapa besar kekuatan sebuah partai menjaring massa lewat iklan televisi? Kasus di Amerika Serikat agaknya bisa jadi contoh. Terlepas dari soal etika dan hukum, kampanye George W Bush saat mencalonkan diri sebagai Presiden AS pada 2004 sungguh memikat.
Bush yang incumbent kala itu, memutar iklan yang mengeksploitasi peristiwa 11 September 2001. Dalam spot iklan 30 detik seharga US4,5 juta dolar itu, Bush mengatakan, AS bakal ambruk jika tak punya pemimpin kuat. Dia lah penguasa tertinggi militer yang diperlukan pada masa-masa transisi. Iklan diakhiri tulisan, “Safer, Stronger. President Bush. Steady Leadership in times of change”.
Di Indonesia, calon presiden Megawati Soekarnoputri memasang iklan dengan janji menurunkan harga sembako dalam masa 100 hari kepemimpinannya. Sah saja, seperti halnya iklan Partai Keadilan Sejahtera yang memasang foto mantan presiden Soeharto sebagai salah seorang guru bangsa di negeri ini.
Sementara partai Hanura yang mengusung Wiranto sebagai capres, mencuri simpati rakyat dengan mengekspose kegagalan pemerintah dalam mengatasi angka kemiskinan dan pengangguran.
Di balik semua iklan politik yang hebat itu, peran seorang konsultan marketing sungguh sangat penting. Bruce Newman (seperti dikutip Denny JA), dalam The Marketing of the President: Political Marketing as Campaign Strategy menggambarkan, bahwa kini kampanye politik juga menggunakan prinsip marketing, seperti marketing research, market segmentation, targeting, positioning, strategy development dan implementation.
Bagaimana dengan kampanye Susilo Bambang Yudhoyono yang flamboyan itu sehingga menarik simpati kaum ibu. Dan Bagaiman pula dengan sosok lugu campur lucu Joko Widodo yang sukses menjual kesederhaan dan blusukan untuk mengantarnya ke Istana Merdeka? Lagi-lagi kita dihadapkan dengan kepiawaian strategi marketing dan pollsters tim kampanye presiden.
Berapa biaya yang mereka habiskan untuk merebut simpati massa? Tidak ada angka yang jelas. Yang kita tahu kampanye presiden melalui media massa, terutama televisi, diyakini sebagai media paling ampuh menjangkau seluruh lapisan rakyat. Naasnya, kebanyakan rakyat masih juga tak menyadari bahwa sepiawai apapun sebuah iklan, ia hanyalah sebuah image. (Irsyad Muchtar)