hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Idealisasi Pancasila Atas Ketimpangan Kaya Miskin

Tahun 2020, orang kaya di Indonesia naik 65 ribu menjadi 171 ribu orang. Pada saat yang sama, kebanyakanorang miskin mengalami kesulitan hidup karena kehilangan pekerjaan.

HARI lahir Pancasila diperingati 1 Juni lalu. Peringatan ini merujuk pada pelaksanaan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang membahas dasar-dasar Indonesia merdeka pada 29 Mei 1945-1 Juni 1945 lalu.

Saat sidang kedua BPUPKI, Soekarno dalam pidatonya yang bertajuk lahirnya Pancasila menyampaikan gagasan mengenai lima dasar negara bernama Pancasila. Lalu, 22 Juni 1945, Pancasila dirumuskan ke dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Pancasila disahkan sebagai dasar negara untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara.

Setelah 78 tahun pengesahan itu, masihkah nilai-nilai Pancasila menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia? Di bidang ekonomi, harapan (masih) belum jadi kenyataan. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa indikator menunjukkan ekonomi Indonesiasemakin jauh dari Pancasila.

Selama ini ekonomi Indonesia selalu diklaim pemerintah tumbuh bagus dan kuat di tengah kondisi ekonomi negara lain yang lesu. Nyatanya ‘kue’ itu tidak dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara merata. Ketimpangan kehidupan ekonomi menjelaskannya. Orang kaya dengan nilai tabungan di atas Rp2 miliar saat pandemi kemarin tak sedikit. “Hasil riset Credit Suisse, tahun 2020 orang kaya di Indonesia naik 65 ribu menjadi 171 ribu orang. Pada saat yang sama, kebanyakn orang miskin mengalami kesulitan hidup karena kehilangan pekerjaan,” katanya.

Saat pandemi covid menggila, jumlah rakyat Indonesia yang hidup miskin mencapai 27,54 juta orang; naik dibanding Maret 2020 yang 26,42 juta orang. (BPS Maret 2021) “Itu menunjukkan korelasi nilai Pancasila dalam ekonomi kita tidak ada. Ekonomi saat ini malah cenderung mengarah ke kapitalisme liberal dan oligarki. Maka, kekayaan rakyat terkonsentrasi di beberapa gelintir orang,” kata Bhima.

Ketidakadilan sosial atau ketimpangan juga terjadi pada masalah kepemilikan lahan. Ia menyebut rasio gini atau koefisien pengukur derajat ketidakmerataan kepemilikan lahan di Indonesia masih mencapai 0,6 atau 0,7. Di tengah tingginya ketimpangan itu, harga tanah dan properti justru naik 20 persen per tahun. Sedangkan kenaikan upah para pekerja di Indonesia belakangan ini tidak pernah menyentuh 20 persen, apalagi setelah berlakunya UU Cipta Kerja.

“Orang miskin sulit memiliki tanah, rumah karena untuk mengejar kenaikan harga yang 20 persen per tahun, peningkatan upah mereka tidak mendukung,” katanya. Ketidakadilan sosial lain kata Bhima juga terlihat dari kebijakan pemerintah terhadap rakyat, salah satunya petani. Perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih cukup minim. Paling tidak, dukungan itu bisa dilihat dari keberpihakan anggaran subsidi pupuk.

Dalam 5 tahun terakhir, anggaran untuk subsidi pupuk terus menurun. Berdasarkan data pemerintah, nilai subsidi pupuk dalam beberapa tahun terakhir memang turun Rp10 triliun. Di tengah minimnya dukungan anggaran tersebut, petani juga kehilangan kuasa mereka atas harga jual produk pertanian mereka. Tidak ada bantuan sama sekali yang diberikan pemerintah selama ini. “Ketika harga bahan kebutuhan pokok naik, petani tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya. Petani kecil tak punya lahan, kebanyakan hanya buruh kasar. “Padahal, jika mereka mempunyai lahan sendiri dan diberikan modal bantuan, level produktivitas pangan kita berpotensi bisa lebih baik,” kata pengamat ekonomi dari CORE, Yusuf Rendy Manilet.●(Zian)

pasang iklan di sini