Bank syariah hasil merger hendaknya benar-benar menganut sistem syariah sesuai aturan fiqih. Jangan hanya berlabel syariah tapi praktiknya tak beda dengan bank konvensional.
KEMENTERIAN BUMN diminta transparan mempresentasikan roadmap proses merger bank-bank syariah BUMN. Sampai sekarang hal itu belum diketahui DPR. “Ini bukan merger biasa. Holdingisasi bank-bank syariah butuh penataan ekosistem yang berbeda dengan ekosistem perbankan biasa. Harus ada roadmap yang jelas, dicari SDM yang benar-benar mumpuni, dan semua sesuai dengan KPI (Key Performance Index) masing-masing,” ujar Marwan Ja’far, anggota DPR-RI Komisi VI dari F-PKB.
Bank syariah hasil merger yang kelak terbentuk hendaknya benar-benar menganut sistem syariah sesuai aturan fiqih yang benar. Jangan sampai hanya menggunakan label syariah tapi praktiknya tak beda dengan bank konvensional. “Kalau konsep fiqihnya benar-benar diterapkan, itu bagus dan merupakan pasar yang sangat prospektif. Tapi kalau tak beda dengan bank konvensional, apa gunanya,” tuturnya.
Potensi bisnis bank syariah, menurut Marwan, sangat prospektif. Apalagi dalam situasi ekonomi yang lesu seperti sekarang, dimana tak sedikit bank konvensional yang kinerjanya jeblok. Dalam kaitan ini, bank syariah merupakan salah satu pilihan bisnis yang potensial. Bukan hanya untuk segmen konsumen muslim, melainkan juga prospektif menyasar konsumen universal. Prospek ini sudah diakui secara global.
Di di Eropa dan di berbagai negara non-Muslim, bank-bank berkonsep syariah banyak dipercaya oleh konsumen non-Muslim. Itu artinya, kinilah saat yang tepat untuk mempromosikan bank merger syariah BUMN ini kepada investor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Terlebih gabungan 3 bank syariah Himbara (himpunan bank milik negara) itu sekarang belum masuk kategori BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) IV. Dengan modal inti Rp20,2 triliun, atau kurang Rp10 triliun dari yang dipersyaratkan, akan sulit bagi bank meluaskan kegiatan usahanya ke skala global.
Dengan wanti-wanti diingatkan agar proyek holdingisasi bank syariah BUMN ini jangan sampai gagal, karena taruhannya adalah turunnya kepercayaan dari masyarakat hingga investor global. Bisnis di tengah pandemi hari ini, kata mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu, yang paling penting adalah faktor kepercayaan.
Realisasi merger bank syariah Himbara ini, sangat bergantung pada itikad Pemerintah. “Apakah pemerintah serius atau nggak mempersiapkannya, meski kondisi saat ini berat. Saya optimis masih bisa. Yang penting carikan polanya dan secara mandatory harus ditata dengan baik dari awal. Mungkin butuh konsultan khusus, agar nantinya bank ini benar-benar dipercaya masyarakat dan investor,” ujarnya.
Senada dengan Marwan, pengamat ekonomi syariah, Syakir Sula, menyebut bahwa merger bank syariah Himbara ini mestinya diperjuangkan untuk masuk kategori BUKU IV jika ingin hasilnya optimal. “Kalau bisa masuk BUKU IV dan bisa menjadi Bank Himbara ke-5 ya, bagus. Dengan catatan harus nambah modal inti Rp10 triliun lagi. Kalau nggak, ya nggak nendang,” tuturnya.
Tanpa penambahan modal inti, pada hemat Syakir, bank merger syariah BUMN ini harus dipertanyakan apakah benar-benar akan menjadi Bank Himbara ke-5, atau justru menjadi ‘anaknya’ Bank Mandiri—sebagai memiliki saham terbesar yaitu 51,2%. “Itu dua hal yang berbeda. Kalau nanti ternyata menjadi ‘anaknya’ Bank Mandiri, ya apa gunanya merger,” ujarnya.●







