octa vaganza

HIPERINFLASI

Masa kelam itu terjadi di Jerman seusai Perang Dunia I ( 1914 -1918).  Negara nyaris karam ketika nilai tukar Papiermark (Mark) tak lagi berharga. Bayangkan, satu dolar AS setara dengan 4,2 triliun mark, sungguh gila. Saking murahnya, penduduk lebih suka membakar tumpukan uang kertas Mark untuk menyalakan tungku ketimbang membeli kayu bakar yang harganya jauh lebih mahal. Sepotong roti dijual seharga 200 juta Mark,  pegawai terpaksa mengambil gajinya dengan gerobak dan dibayar tiga kali sehari. Sementara anak-anak membuat layang-layang atau wallpaper untuk kamar tidur mereka dengan Mark. 

Semua kegilaan itu berawal dari perang. Republik Weimar, kini Jerman, kala itu sangat percaya diri  bakal memenangi perang melawan Sekutu, menjual obligasi besar-besaran kepada rakyatnya  untuk modal perang. Pembayaran utang  nantinya akan dibayar oleh pihak musuh yang kalah. 

Tapi apa lacur, Jerman yang arogan sebagai Central Power bersama Austria, Hungaria dan Ottoman justru kalah telak dan harus membayar biaya reparasi terhadap Sekutu yang dipimpin Perancis, Inggris, Rusia dan AS. Jerman pun kena tilang, dipaksa membayar kerusakan yang terjadi selama perang sekira USD440 miliar. Utang sebesar itu harus dibayar dalam emas atau mata uang yang stabil lantaran Mark mengalami depresiasi yang mengerikan.

Drama finansial yang tragis seabad lalu itu, jadi pelajaran mahal bagi Jerman untuk membenahi fondasi ekonomi dalam negerinya. Traumatis hiperinflasi membuat mereka sangat konservatif dalam masalah keuangan, namun berhasil bangkit, bahkan kini menjadi kiblat bagi pengelolaan moneter dan fiskal dunia. 

Kisah negara runtuh karena salah urus ekonomi seringkali bermula dari buruknya pengelolaan institusi. Dalam konteks ini tak ada pengecualiaan, apakah ia rezim komunis ataupun demokratis, jika pengelolaan institusi ekonomi-politik berlangsung eksklusif bahkan ekstraktif, kata Daron Agemoglu dan James A Robinson negara tersebut harus bersiap untuk gagal. 

Dalam buku mereka yang fenomenal, Why Nations Fail, The Origin of Power, Prosperity and Poverty, Argentina menjadi contoh ironis kegagalan negara mengelola keuangan. Merosotnya pendapatan negara akibat utang luar negeri yang membengkak, menggiring Argentina ke dalam jurang resesi serta angka pengangguran tinggi.  Untuk memangkas keadaan sulit itu, pada 1991 Presiden Carlos Menem meluncurkan rezim kurs tetap,   mematok satu Peso setara 1 USD. Akibatnya, harga komoditi ekspor melonjak sangat mahal, sementara barang-barang impor melimpah dengan harga terjangkau. Was-was dengan stabilitas nilai tukar Peso yang melemah, masyarakat mentransfer tabungan dalam USD. Amankah?

Tetapi,  pada 1 Desember 2001 pemerintah membekukan semua rekening untuk jangka waktu 90 hari ke depan. Penarikan tabungan dibatasi, hanya sekali dalam sepekan dengan batas maksimal  250 Peso. Konyolnya, sekalipun punya simpanan dalam USD namun nasabah hanya boleh menarik dana dalam bentuk Peso. Tentu saja masyarakat protes, namun rezim tak peduli. Sebulan berselang, mata uang Peso mengalami devaluasi,  satu dolar AS setara 4 Peso. Untuk sesaat kebijakan tersebut cukup melegakan bagi para penabung dalam mata uang dolar. Namun lagi-lagi pemerintah lakukan tindakan brutal dengan mengonversikan semua tabungan dolar setara Peso. Tiga perempat tabungan masyarakat dirampok terang-terangan oleh pemerintah yang nota bene demokratis dan dipilih rakyat.

Pengelolaan keuangan negara  yang gagal mengamankan tabungan masyarakat tak hanya di Jerman atau Argentina. Pemerintah Korea Utara misalnya, jauh lebih sadis ketika menggulirkan reformasi mata uang yang membuat rakyat mereka miskin mendadak lantaran nilai tukar Won yang mendadak jatuh dua digit. Sementara di Zimbabwe, rakyat terpaksa menggunakan mata uang negara asing lantaran hiperinflasi, tetapi para elite politiknya hidup bergelimang mewah. Seperti ditulis Acemoglu dan Robinson, bahwa negara gagal bukan karena faktor geografis atau kebudayaan, tetapi karena warisan institusi ekstraktif yang memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan kelompok elit penguasa, sehingga memicu keresahan, pemberontakan dan perang saudara.  (Irsyad Muchtar)

Exit mobile version