
PeluangNews, Jakarta — Ekonom INDEF Didik J Rachbini mengingatkan salah satu hikmah yang harus diambil dari musibah bencana alam yang baru saja terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat adalah bahwa reforma agraria merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan di Tanah Air untuk menyelamatkan alam dari kerusakan yang lebih parah.
“Saya kira saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan terobosan reforma agraria dalam rangka menegakkan keadilan dalam pemilikan tanah dan sekaligus koreksi atas degradasi lingkungan hidup,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Peluang, Sabtu (27/12).
Menurut dia, dalam sejarah kebijakan publik, krisis seringkali justru menjadi jendela kebijakan (policy window) untuk malakukan koreksi struktural. Banjir yang terjadi di Sumatera kali ini bukan sekadar musibah,tetapi peringatan keras atas deforestrasi dan ketimpangan penguasaan tanah. Karena itu kebijakan reforma agraria adalah solusi yang mendasar dan bersifat struktural, konstitusional dan berorientasi jangka panjang.
Didik mengingatkan bahwa meskipun saat ini semua pihak masih harus bergulat dengan pekerjaan jangka pendek membantu korban banjir, tetapi harus sudah ada yang memikirkan solusi jangka panjang dari masalah banjir besar ini.
Menurut ekonom INDEF ini, harus ada format kebijakan (Policy brief) yang mendesak dan dapat langsung digunakan oleh Presiden, Kementerian Lembaga, DPR, dan Pemerintah Provinsi untuk mengkoreksi kebijakan penataan kawasan.
Permasalahan dan isu utama yang dihadapi dalam fenomena banjir Sumatera adalah masalah struktural, ketimpangan penguasaan tanah dan degradasi DAS. “Banjir berulang di berbagai wilayah Sumatera bukan semata fenomena alam, melainkan akumulasi kegagalan tata kelola lahan dan DAS. Alih fungsi hutan dan penguasaan lahan skala besar telah menciptakan risiko bencana sistemik. Ini semua merupakan isu jangka panjang, yang harus diselesaikan secara sistematis mulai saat ini bersamaan dengan pemulihan dan bantuan untuk korban bencana,” lanjutnya.
Kerangka kebijakan yang harus diambil adalah menemukan hikmah dari bencana lalu melakukan koreksi struktural terhadap Penguasaan Tanah dan pengaturan tata ruang yang layak ekologis. Karena itu, perlu dibuat kebijakan Reforma Agraria Sumatera sebagai kebijakan korektif dan preventif untuk mengurangi risiko banjir secara struktural, menata ulang penguasaan dan penggunaan tanah, memberi kepastian hak tanah bagi rakyat dan korban bencana, dan memulihkan fungsi ekologis DAS.
“Kebijakan ini harus dijalankan untuk mengatasi masalah yang sudah terlanjur terjadi, fungsi hutan yang rusak, konsesi besar (HTI, sawit) yang menutup ruang resapan dan ketimpangan penguasaan tanah. Pelaksanaan usulan ini tidak memerlukan undang-undang baru, karena telah memiliki dasar konstitusional dan hukum yang kuat. Yang dibutuhkan adalah keputusan politik lintas sektor,” lanjutnya.
Menurut Didik, akar masalah yang saat ini dihadapi adalah komplikasi di hulu, tengah dan hilir – baik karena deforestasi, konsesi HTI dan sawit di wilayah tangkapan air, dan juga ketimpangan penguasaan tanah, petani gurem, konflik agraria. Dalam hal ini, banjir merupakan indikator kegagalan tata ruang dan agraria, bukan sekadar bencana alam.
Dalam keadaan kritis dan darurat seperti ini negara sah secara hukum melakukan redistribusi tanah demi keselamatan rakyat dan lingkungan. Yang mendesak negara harus dapat mengembalikan fungsi ekologis lahan sekaligus mendistribusikan tanah secara adil kepada rakyat kecil, petani, dan korban bencana.
Masalah deforestasi, izin skala besar, yang tidak layak dan menyimpang harus dikoreksi dengan kebijakan perhutanan Sosial dan kebijakan Reforma Agraria Ekologis, sekaligus konversi hutan produksi kritis menjadi hutan desa, hutan adat, agroforestri rakyat.
Didik mengatakan bahwa program ini selayaknya dapat dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian kehutanan dan Kementrian ATR/BPN. Kebijakan redistribusi Tanah dan konsolidasi tanah dijalankan di zona tengah dengan sumber lahan dari tanah yang terlatar, ilegal, eks konsesi HTI dan HGU yang telah berakhir. “Distribusi diberikan sekitar 2 ha per KK, seperti program transmigrasi jaman Orde Baru dengan sertifikat hak milik atau hak usaha terbatas. Pemerintah melakukan larangan jual untuk jangka waktu 10–15 tahun. Koperasi merah putih bisa berperan di sini.”
Masalah struktural yang terjadi sudah menyimpang dari konstitusi dan kini saatnya kembali kepada konstitusi. Menurut dia, Pemerintah harus menjadikan kebijakan ini program nasional mitigasi bencana dimana Presiden dengan dasar Perpres membentuk satgas pemulihan bencana, perbaikan tata ruang dan distribusi tanah untuk rakyat.
“Tidak hanya konstitusi, Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5/1960) juga bisa dijadikan dasar kebijakan ini dimana negara berwenang mengatur peruntukan tanah, membatasi penguasaan berlebihan dan melakukan redistribusi tanah,” lanjutnya.








