Ini jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah sekaligus memanjakan investor, abai terhadap kepentingan rakyat, lagipula tidak sesuai dengan semangat Undang-undang Pokok Agraria.

PERATURAN Pemerintah No. 12/2023 terbit 6 Maret 2023. Isinya tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Negara/IKN. Dalam PP itu, HGU di IKN menjadi 95 tahun. Aturan ini akan dipertegas melalui revisi UU No. 3/2022, yang kini dalam tahap pembahasan di DPR.
Kritik bermunculan dari sana sini. Misalnya, terkait soal HGU yang bisa diberikan dua siklus. Setiap siklus terbagi dalam tahapan pemberian selama 35 tahun, perpanjangan 25 tahun, dan pembaruan 35 tahun. Maka, dalam siklus pertama, pemegang HGU bisa memperoleh hak menguasai dan mengusahakan tanah selama 95 tahun. Pada siklus kedua, pemegang HGU bisa menguasai tanah 190 tahun.
Pemberikan HGU sampai 190 tahun, serta hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP) bagi investor di IKN sampai 160 tahun, menurut Dewi Kartika, adalah kebijakan yang lebih buruk daripada masa penjajahan Belanda. UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) saja hanya membolehkan hak konsesi perkebunan kepada investor 75 tahun.
Di era kemerdekaan, Agrarische Wet 1870 dicabut dan digantikan oleh UU Pokok Agraria 1960. Saat itulah, kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini, mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigmatik politik dan hukum agraria secara fundamental.
KPA menyoroti rancangan Pasal 16A dalam revisi UU IKN. Pasal baru tersebut disisipkan di revisi UU IKN untuk mengatur lebih lanjut Pasal 16 ayat 7 undang-undang lama. Dalam Pasal 16A dijelaskan tentang perjanjian hak atas tanah bisa berupa hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai, yang jangka waktu pemberian berbagai jenis hak atas tanah tersebut sangat panjang.
Poin-poin dalam revisi UU IKN disorot Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Teddy Setiadi. Pertama, berhubungan dengan kewenangan otorita yang lebih luar biasa. Kedua, pengelolaan aset HGU dari 90 menjadi 95 tahun. Menurut Teddy, “Otorita bisa memberi kewenangan berupa fasilitas khusus kepada pihak-pihak yang ikut membangun IKN. Ini berpotensi mengakibatkan abuse of power, dengan dalih kewenangan khusus,” ucapnya.
Teddy juga mengkritisi Pasal 30 UU IKN yang memisahkan sistem pengelolaan aset antara barang milik negara dan barang milik Otorita IKN. Norma itu dinilai tidak sesuai dengan prinsip hak menguasai negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. “Hal ini jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap penanam modal, memanjakan investor, serta sebaliknya justru abai terhadap kepentingan rakyat dan tidak sesuai dengan semangat Undang-undang Pokok Agraria,” katanya.
Insentif HGU di IKN itu bisa membuat pengusaha menguasai lahan IKN dan akan merugikan masyarakat lokal. “Hal ini juga berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara keuntungan investor, pemerataan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional, Achmad Nur Hidayat. Bagi Associate Profesor Nanyang Technological University Singapura, Sulfikar Amir, pemberian HGU 95 tahun bagi pengusaha di IKN adalah keputusasaan pemerintah. Pemberian HGU dan HGB sepanjang itu tak menjamin ketertarikan investor besar untuk menyuntikkan modalnya di IKN. Pasalnya, proyek IKN tidak menjanjikan sesuatu yang diharapkan oleh investor asing. Pemerintah sepertinya sudah putus asa karena sampai saat ini belum ada investor skala besar yang tertarik untuk masuk ke dalam proyek IKN,” tutur Sulfikar Amir.