Opini
Imam Faturrohmin
Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) merilis data miris di tahun 2017 lalu. Oxfam nama LSM itu, bekerjasama dengan International NGO Forum on Indonesia Development (lnfid) mengungkap harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun.
Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun. Sesaat berita itu menjadi konsumsi pers yang menimbulkan berbagai polemik, namun perlahan menghilang, tak ada follow-up. Publik seolah tak peduli dengan data-data mencengangkan itu, penyelenggara negara pun cuek bebek.
Awal tahun ini, sebuah LSM lainnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) kembali menggoreng data heboh itu. “Harta empat orang kaya setara dengan 100 juta orang miskin,” kata Didin Damanhuri, peneliti senior Indef.
Siapakah orang kaya dimaksud? Jika ia seorang pengusaha tentunya wajar karena kesehariannya memang berada di dunia bisnis. Tetapi bagaimana jika orang-orang kaya itu justru dari kalangan abdi negara, para aparat sipil negara, polisi dan tentara.
Saat pandemi lalu, kita dikejutkan oleh berita di media mainstream yang menyebutkan kekayaan para pejabat negara yang justru meningkat di tengah keterpurukan ekonomi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen.
Kenaikan harta para pejabat itu dilacak melalui analisa terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir.
Lalu apakah kenaikan harta di tengah pandemi ini karena para pejabat berbisnis vaksin, PCR test, tes antigen, alat kesehatan, batu bara dan kelapa sawit, atau kemungkinan pejabat memanfaatkan pengaruh posisinya sebagai pejabat untuk berbisnis.
Atau jika tudingan itu keliru tentunya aparat hukum dapat melakukan penyidikan seksama melalui metode pembuktian terbalik. Artinya, siapapun abdi negara tidak dilarang kaya raya namun harus bisa dibuktikan dari mana ia memperoleh kekayaan tersebut.
Pembuktian terbalik bukanlah sesuatu yang baru. Pada 2 Februari 2011, untuk pertama kalinya peradilan pidana kita menerapkan teori ini ketika mengadili Bahasyim Assafiie, mantan pejabat pajak, untuk harta jumbo nya yang tak wajar sebesar Rp 61 miliar dan USD681.153 .
Bahasyim kala itu divonis 10 tahun penjara, bayar denda Rp 250 juta dan harta kekayaannya disita untuk negara.
Jika di masa lalu metode pembuktian terbalik terbukti manjur, agaknya bisa jadi pintu masuk untuk membersihkan nama pejabat kaya dari tudingan negatif.
Dan bisa kita mulai dari Rafael Alun Trisambodo, pejabat eselon III Ditjen Pajak yang belakangan viral karena punya harta fantastis hingga Rp 56 miliar.
Berikutnya bisa merembet kepada pejabat tajir lainnya, seperti kepala Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang menonjolkan gaya hidup hedonis, pamer kekayaan.
Ketika drama Ferdy Sambo belum hilang dari ingatan kita, dan hedonisme Rafael Ulun menghentak narasi kita tentang ketimpangan kaya miskin.
Tiba-tiba kita dikagetkan dengan peringatan Presiden Jokowi yang meminta para pejabat negaa agar jangan pamer harta. Boleh jadi presiden mafhum bahwa Indonesia hingga kini belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta tidak sah.