JAKARTA—Melonjaknya harga jagung dari Rp6.974 pada awal tahun menjadi Rp7.379 pada Mei dan naik lagi pada Juni hingga mencapai Rp8.000 per kilogram. Sementara harga kedelai pada Juni lalu sudah berada di atas Rp10 ribu per kilogram.
Tinggi harga jagung dan kedelai berimbas pada peternak unggas, karena keduanya menjadi bahan baku utama pakan ternak sebesar 65 persen. Akibat kenaikan ini, pelaku usaha dan industri peternakan unggas merasakan dampak signifikan dari meningkatnya biaya pembelian bahan baku dan harga pokok produksi (HPP) ayam hidup.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku tengah mencari alternatif bahan baku impor agar harga pakan unggas dalam negeri bisa diturunkan. Hal itu dinyatakan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan, bahwa pihaknya berupaya untuk bisa mendapatkan bahan baku pakan unggas dari pasokan impor.
Salah satunya, yakni distillers dried grains with solubles (DDGS) atau bungkil kedelai sebagai substitusi dari komoditas jagung. Kami,” kata Oke dalam webinar Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi, Kamis (22/7/21).
Opsi impor bahan baku akan dilakukan lewat penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejauh ini di tengah tingginya harga pakan unggas pemerintah belum mengambil langkah penugasan impor karena harus memastikan ketersediaan bahan baku yang siap didatangkan.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak Timbul Sihombing mengungkapkan, seharusnya pemerintah mempunyai cadangan jagung sebagai buffer stock nasional, agar dapat menjaga stabilitas harga dan suplai jagung dalam negeri.
Timbul meminta pemerintah juga mempertimbangkan kebijakan impor jagung untuk pakan ternak. Hal itu seiring naiknya harga jagung lokal sebagai bahan baku pakan.
“Ketika harga sudah di luar batas kewajaran perlu dipilih opsi impor jagung tapi tentu ini harus hati-hati dan tetap dikendalikan pemerintah,” pungkasnya.