hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Halalbihalal Buruh Sedunia

Ribuan buruh memenuhi Chicago’s Michigan Avenue pada tanggal 1 Mei 1886. Bersama ratusan ribu buruh lain di seluruh Amerika Serikat, mereka menuntut dipenuhinya hak atas jam kerja maksimal 8 jam per hari. Kerusuhan timbul ketika polisi melakukan pembubaran paksa hingga penangkapan dan pengadilan terhadap para penggeraknya. Untuk memperingati peristiwa ini, 1 Mei kemudian ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia dalam sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan pada 1889.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 1991, Indonesia sebenarnya telah menetapkan tanggal 20 Februari yang merupakan momen pembentukan Federasi Serikat Buruh Indonesia (FBSI) pada tahun 1973 sebagai Hari Pekerja Nasional (Harpeknas). Namun Hari Buruh Sedunia yang dikenal sebagai Mayday akhirnya justru yang ditetapkan sebagai hari libur nasional sejak tahun 2013. Para buruh pun menjadi lebih bebas memanfaatkan momen ini sebagai ajang rekreasi sambil demonstrasi menuntut pemenuhan hak-hak buruh, seperti kenaikan upah, jam kerja dan hak cuti hingga pemenuhan hak atas Tunjangan Hari Raya (THR).

Karena masih bulan Syawal 1444 H, Mayday 2023 akan menjadi momen Halalbihalal sekaligus menuntut pencabutan UU Cipta Kerja secara riang-gembira. Baik melalui unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sambil menikmati jajanan di sana. Namun tuntutan itu tampaknya sulit dipenuhi atas dasar pertimbangan menjawab tantangan ekonomi global. Selain kemudahan berusaha, undang-undang ini juga memberikan fleksibilitas dalam pemenuhan hak-hak buruh atau pekerja.

Pembatasan kegiatan selama masa pandemi covid-19 memang menyebabkan banyak perusahaan terpaksa tutup atau mengurangi upah, jam kerja hingga jumlah karyawannya. Pengangguran sempat mencapai angka 7,2 % pada saat itu.

Komponen biaya tenaga kerja (labour cost) relatif tinggi pada beberapa jenis industri. Misalnya industri kerajinan furnitur dengan tujuan ekspor 20-30 % atau rata-rata sekitar 25 % dengan jumlah tenaga kerja per perusahaan lebih 200 orang. Industri mainan anak bahkan angkanya mencapai 60-65 %. Hanya sektor hulu yang sekitar 10%-an. Ketika ini dialami puluhan hingga ratusan perusahaaan dengan puluhan ribu pekerja, daya beli masyarakat pun langsung anjlok. Bersamaan dengan naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok masyarakat.

Di luar itu, lebih banyak lagi persoalan yang dihadapi para pekerja non-formal dan para pekerja di sektor informal. Mulai dari tenaga kerja bongkar muat (TKBM), pekerja rumahan yang mengerjakan produksi atas dasar pesanan perusahaan hingga asisten atau pekerja rumah tangga (PRT) yang belum memperoleh jaminan sosial dan upah memadai. Disetujuinya RUU tentang Perlindungan PRT sebagai usul inisiatif DPR merupakan sebuah langkah maju yang patut diapresiasi dalam mengurai persoalan ini.

Bila 28 orang pekerja pada sebuah pabrik di Kota Rochdale, Inggris berhasil mengatasi ekses revolusi industri yang dialaminya dengan membentuk koperasi pada tahun 1844. Hingga prinsip-prinsip koperasi Rochdale dibakukan dan diberlakukan secara universal dalam Kongres International Cooperatives Alliance (ICA) 1937 di Paris. Tentu ribuan massa yang hadir pada momen Mayday bisa membentuk Koperasi Buruh sebagai kekuatan sosial sekaligus kekuatan ekonomi yang lebih besar lagi bila dikonsolidasikan.

Hal ini juga merupakan amanah UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh bisa dilakukan dengan menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 101 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang itu.

Penulis adalah Tenaga Ahli Sub-Profesional di Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, Sekretaris BPKH Dekopin 2011-2014

pasang iklan di sini