Jakarta (Peluang) : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal pekerja industri padat karya di Jawa Tengah, kini melebar hingga ke Jawa Tengah akibat menurunnya permintaan ekspor.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyebut, gelombang PHK saat ini mulai mengancam pekerja di Jawa Tengah.
Sebelumnya, laporan PHK massal dilaporkan terjadi di wilayah Jawa Barat melanda puluhan ribu karyawan di industri padat karya, mulai dari pabrik alas kaki sampai tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk garmen (pakaian jadi).
Menurutnya, data yang resmi masuk ke Disnaker (Dinas Ketenagakerjaan di daerah) masih dari Jawa Barat. “Tapi info dari perusahaan lain di Jawa Tengah sudah ada yang PHK. Infonya mencapai 20 ribu yang dirumahkan. Namun belum ada laporan secara resmi,” kata Redma.
Dari laporan tersebut, untuk industri hulur tekstil masih baru hanya merumahkan karyawan. “Kalau hilir sepertinya sudah ada PHK,” ujarnya.
Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Aloysius Budi Santoso mengatakan, pihaknya mencatat hingga akhir Oktober 2022, sudah ada 79.316 buruh di sektor padat karya yang di PHK.
Bahkan, angka tersebut belum termasuk jumlah buruh yang jadi korban PHK di industri alas kaki nasional yang dilaporkan juga mengalami penurunan permintaan ekspor 40-50 persen.
“Per akhir Oktober 2022 sudah ada 79.316 orang dari 127 perusahaan. Sifatnya ada yang PHK, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak diteruskan. Ada juga yang memang karena pabrik pada akhirnya tutup produksi,” ungkap Aloysius.
Menurutnya, PHK atau pengurangan karyawan terjadi paling banyak di Jawa Barat. Tercatat untuk 3 besar daerah dengan jumlah PHK maupun PKWT tidak diteruskan adalah Bogor, Sukabumi, dan Subang.
“Kalau yang pabriknya banyak tutup produksi itu di Bogor dan Purwakarta. Ini daerah-daerah dengan jumlah terbesar dari kasus yang masuk sampai saat ini,” jelasnya.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, setidaknya ada 10.765 orang yang kena PHK per September 2022.
Menurut Menaker, kasus PHK pada 2019-2022 yang paling tinggi di tahun 2020, yakni ketika mengalami pertama kali pandemi Covid-19.
“Dan ini data per September 2022 yang di-input mencapai 10.765 orang,” kata Ida Fauziyah.
Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Abdurohman mengatakan, badai PHK tersebut harus ditelaah lebih jauh lagi. Karena sejauh inikondisi industri tekstil jika dilihat dari kinerja ekspornya masih sangat tinggi.
Berdasarkan laporan penelitian di lapangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan belum terjadi PHK secara masal seperti yang diberitakan. Tetapi banyak perusahaan yang memang sudah mulai mengurangi produksi dan juga menggilir pegawainya.
Isu PHK di industri tekstil dan alas kaki di Jawa Barat ini menurutnya, juga sedang didalami. “Apakah betul memang terjadi PHK massal sampai 73.000 jiwa. Karena berdasarkan hasil penelitian teman-teman Kemenkeu yang ada di Jabar dilaporkan sebenarnya belum ada terjadi PHK secara massal,” ujar Abdurohman.
Menurutnya, pihaknya mencatat pendapatan penjualan industri tekstil tumbuh di atas 10 persen. Sementara total industri manufaktur secara keseluruhan hanya sekitar 5 persen.
Kinerja industri tekstil tersebut didukung oleh beberapa sektor yang masih tumbuh kuat. Di antaranya, industri tekstil pakaian dan aksesori rajutan, pakaian dan aksesori non rajutan, dan untuk alas kaki, yang pertumbuhannya masih kuat hingga kuartal III tahun ini.
Bahkan sebagian besar korporasi juga masih dalam kondisi yang aman. Terbukti dengan pendapatan perusahaan yang tumbuh kuat mengekor kinerja pertumbuhan ekonomi yang juga kuat.
Selain itu, rasio pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) terhadap pembayaran bunga utang (ICR) juga terus membaik.
Menurutnya, semua sektor mencatatkan ICR di ambang atas 1,5 persen, bahkan untuk sektor pertambangan berada di atas 10 persen.
“Hanya ada satu sektor yang masih marginal ICR-nya yakni sektor real estate yang berada di sekitar level threshold,” ujarnya.
Dengan kinerja tersebut, Abdurohman mengatakan, pihaknya masih akan terus menelaah lebih jauh terkait fakta kondisi di lapangan yang sebenarnya. Pasalnya kondisi tersebut akan menentukan tindakan pemerintah ke depannya.
“Kalau benar terjadi PHK massal, bagaimana respons dari pemerintah, ada arahannya. Apakah akan ada kebijakan untuk memberikan tambahan bansos lagi,” tandasnya.