octa vaganza

Gamang Masuk Media Digital, Disc Tarra Terjungkal

GENERASI 90-an sampai 2000-an pasti tak asing dengan toko kaset dan CD. Disc Tarra jadi tempat gaul anak muda untuk membeli kaset, CD dan perlengkapan musik. Tahun 2016 jadi tahun terburuk bagi pencinta dan penikmat musik di Indonesia. Pada akhir 2015, pasca era booming download musik digital sampai Spotify, Disc Tarra, toko kaset dan CD, VCD dan DVD paling lengkap itu, mengumumkan diri menutup tokonya di seluruh Indonesia.

Masuknya media digital ke Indonesia memakan korban.  Perusahaan Disc Tarra mengumumkan penutupan 100 outlet-nya.Sebuah tamparan keras bagi industri musik fisik di Indonesia. Masyarakat tidak lagi berobsesi memiliki CD. Sayangnya, Disc Tarra tak sanggup berekspansi ke bisnis digital. Di sisi lain, pabrik suku cadang mesin untuk menduplikasi CD dan berasal dari Eropa sudah bangkrut.

Pada tahun 2015, Disc Tarra masih memiliki 238 cabang se-Tanah Air. Setelah menyelesaikan PHK dan pesangon, pabrik juga harus ditutup. Jangankan toko CD/VCD/DVD, restoran yang ramai pun nggak kuat. CD tak lagi menarik. Beli Spotify Rp50 ribu bisa dengarkan dari seluruh dunia. Banyak penyanyi merasa kehilangan karena tak ada lagi tempat untuk menjual album fisik.

Dewasa ini, piringan hitam atau kaset menjadi rilisan fisik yang paling dicari. Naasnya, toko musik besar tidak menyediakan rilisan fisik berbentuk unik itu. Kalaupun ada, harganya pun sangat mahal. CD adalah bentuk fisik dari musik yang sangat mudah dibajak. Tapi tidak piringan hitam dan kaset. Selain bentuknya yang unik, piringan hitam dan kaset juga lebih awet. Ada piringan hitam berumur 50 tahun masih bisa diputar.●

Exit mobile version