Banyak UMKM yang bergantung pada bahan baku impor dari Cina. Kenaikan tarif yang disulut Presiden Trump dan gangguan rantai pasokan dapat menyebabkan lonjakan biaya produksi dan ujung-ujungnya mempengaruhi harga jual dan daya saing produk lokal.
Perang dagang antara Amerika dan Cina sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2018. Pemantiknya persis sama dengan yang memuncak baru-baru ini, yakni kebijakan ekonomi Presiden Donal Trump. Di periode kedua dengan jedah waktu, Presiden Amerika sekonyong-konyong mengumumkan kenaikan tarif ekspor dan impor terhadap negara-negara yang terlibat dalam rantai dagang global. Target utama yang dibidik Trump adalah Cina.
Secara resmi, pemerintah Amerika Serikat pada Kamis (10/4) waktu setempat menjelaskan bahwa produk impor dari Cina kini menghadapi tarif minimum sebesar 145%. Ini mempertegas sikap keras Donald Trump terhadap mitra dagang utama AS tersebut di tengah ketegangan perdagangan yang kian memanas. Gedung Putih bahkan menegaskan bahwa angka 145% hanyalah batas bawah, bukan batas atas.
Atas sikap nasionalisme sempit ala Trump itu, Xi Zinping menjawabnya dengan tak kalah gagah. Ibarat gayung bersambut, lu jual gue beli. Sebagai tindakan balasan, melalui Dewan Tarif, Negeri Tirai Bambu itu menaikkan tarif bea masuk untuk seluruh produk asal AS; dari sebelumnya 84 persen menjadi 125 persen, terhitung mulai 12 April 2025. Adapun perbedaan antara tarif 125% dan 145% bisa berarti ribuan dolar untuk satu kontainer produk.
Cina saat ini merupakan negara asal impor terbesar kedua bagi AS dan memegang peran dominan sebagai produsen global untuk berbagai barang konsumsi, termasuk ponsel, mainan, komputer, dan berbagai produk rumah tangga lainnya. Dengan tarif setinggi ini, biaya impor produk-produk tersebut akan melonjak drastis, berdampak besar bagi distributor, pengecer, dan konsumen di Amerika.
Di tengah fakta bahwa negara-negara di dunia saling terhubung dan saling tergantung, ekses genderang perang yang ditabuh Trump tak eksklusif hanya menyangkut Cina. Sejumlah negara lain niscaya terkena imbasnya. Tak kecuali terhadap Indonesia. Langsung ataupun tak langsung, jangka pendek ataupun jangka panjang.
Satu hal yang pasti, perseteruan AS-Cina itu makin mempersulit Indonesia untuk melakukan ekspor. Sebab ketika perang dagang terjadi, negara itu akan mengurangi produksi yang berdampak ke Indonesia selaku pengekspor bahan baku. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, juga mengakui perang dagang ini memperlemah ekspor Indonesia yang selanjutnya berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Ekspor Indonesia ke Cina berpotensi mengalami penurunan karena permintaan yang juga turut menurun. Untuk diketahui, data dari Kementerian Perdagangan mencatat, ekspor nonmigas Indonesia ke Cina tergolong cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022, 2023, dan 2024, ekspor nonmigas Indonesia ke Cina masing-masing lebih dari US$60 miliar.
Tatkala impor barang dari Cina ke AS dikenakan tarif yang tinggi, hal ini akan berdampak pada penurunan permintaan barang dari Cina dan barang mentah dari Indonesia pun menjadi tidak laku. Kondisi perekonomian AS dan Cina berpotensi mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi begini, kemampuan negara-negara tersebut dalam memberikan Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia dengan sendirinya juga akan semakin kecil.
Perang dagang ini sangat berdampak pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Banyak UMKM yang bergantung pada bahan baku impor dari Cina. Kenaikan tarif dan gangguan rantai pasokan dapat menyebabkan lonjakan biaya produksi, yang ujung-ujungnya mempengaruhi harga jual dan daya saing produk lokal. Karena itu, dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang memfasilitasi akses bahan baku dan pelatihan bagi UMKM sangat diperlukan.
Bagi UMKM, kebijakan ini menciptakan lapisan tarif yang menumpuk dan memperumit perhitungan biaya impor bagi pelaku usaha. Perubahan yang cepat dalam struktur tarif ini telah menimbulkan kebingungan besar di kalangan pengimpor, baik skala besar seperti ritel nasional, maupun usaha kecil yang sangat tergantung pada produk buatan Cina.
Dampak langsung, menyeluruh dan tak terhindarkan dari perang dagang melalui dongkrak mendongkrak kebijakan tarif ini adalah perubahan dalam rantai pasokan global. Banyak perusahaan multinasional yang sebelumnya bergantung pada produksi di Cina mulai mencari alternatif di negara lain, termasuk Indonesia. Nilai keekonomian jadi faktor penentu ketika negeri prinsipal tradisional tak lagi menawarkan harga yang lebih ekonomis.
Dalam konteks ini, perang dagang ini membuka peluang bagi Indonesia untuk mendiversifikasi pasar ekspornya. Dengan tarif tinggi yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk Cina, Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan ekspor ke pasar Amerika. Produk-produk seperti kelapa sawit, tekstil, dan produk pertanian dapat menjadi komoditas unggulan yang diandalkan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Bagi Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, perang dagang antara AS dan Tiongkok justru membuka peluang positif bagi Indonesia, berlawanan dengan kekhawatiran sebelumnya yang lebih menyoroti dampak negatif.
Pandu menyebut, kondisi tersebut sebagai blessing in disguise bagi perekonomian Indonesia, karena dinamika tarif yang terjadi justru mendorong Indonesia untuk semakin berfokus pada penguatan dalam negeri.
Perang dagang secara keseluruhan malah membuat Indonesia sekarang banyak fokus ke diri kita sendiri. Sebenarnya ini bagus, seperti deregulasi yang dilakukan pemerintah dan fokus terhadap investasi,” kata Pandu. Sebagai salah satu contoh konkret, dia menyebut Qatar bahkan mengusulkan pembentukan dana investasi (investment fund) khusus untuk Indonesia.
Pandu juga menyoroti potensi relokasi industri dari Cina dan Vietnam ke Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya memastikan nilai tambah dari investasi yang masuk. Harus dipastikan dari investasi itu terjadi transfer of knowledge, ada technology transfer. Jangan hanya sekadar buka pabrik dan jual barang keluar. Investasi harus membawa peningkatan produktivitas dan output.
Kebijakan tarif dagang 32 persen untuk barang Indonesia memang ditunda 90 hari. Namun, Trump tetap memberlakukan tarif dagang 10 persen untuk semua barang dari semua negara. Tarif ‘baru’ itu juga diperparah dengan sejumlah tarif yang telah diterapkan terhadap barang-barang Indonesia sebelumnya. “Khusus di tekstil, garmen yang tarifnya sudah 10-37 persen, dengan pemberlakuan 10 persen tambahan, tarifnya itu menjadi 10 ditambah 10 ataupun 37 ditambah 10,” kata Airlangga Hartarto pada jumpa pers daring dari AS, Jumat (18/4) pagi WIB.
Menko Airlangga menyampaikan pemerintah sedang melobi AS agar menurunkan tarif. Dia tak menyebut target penurunan tarif, tetapi meminta agar tarif untuk Indonesia sama dengan negara pesaing. Untuk mencapai tujuan itulah Airlangga dan sejumlah menteri sowan ke Washington DC, AS. Mereka menemui tiga kementerian sambil membawa proposal negosiasi. Beberapa tawaran Indonesia adalah menambah impor produk AS, khususnya migas dan pangan. Selain itu, Indonesia bersedia melonggarkan beberapa regulasi untuk impor produk-produk AS.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina membawa dampak yang kompleks bagi Indonesia. Meskipun terdapat peluang untuk meningkatkan investasi dan ekspor, risiko ketergantungan dan dampak negatif terhadap UMKM serta stabilitas sosial yang diakibatkannya sangat perlu diwaspadai. Khususnya dampak langsung yang bersifat jangka pendek.
Dampak jangka panjang dari perang dagang ini juga dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial di Tanah Air. Ketidakpastian ekonomi potensial menyebabkan penurunan minat investasi yang saat ini sudah lesu darah dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, hal ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran, ketidakpuasan sosial dan bukan tak mungkin eskalasi kriminalitas.
Dalam menghadapi situasi ini, Indonesia perlu mengembangkan strategi yang komprehensif untuk memanfaatkan peluang sekaligus mengurangi risiko, agar dapat beradaptasi dengan dinamika ekonomi global yang terus berubah. Dengan keseriusan mencamkan ekses pertarungan dua gajah, dan (menerapkan) pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menjadi pemain yang lebih kuat dalam peta perniagaan global.●