Pendekatan terintegrasi dari hulu hingga hilir di sektor pertanian perlu dilakukan untuk memutus ketergantungan impor. Khusus dalam pembiayaan, membutuhkan kebijakan afirmasi seperti KUR Pertanian dan kuota pembiayaan minimum sebesar 30% dari perbankan.

Daulat pangan yang dicita-citakan masih jauh panggang dari api. Importasi produk-produk pertanian justru membanjiri seantero negeri. Ini tentu ironi di sebuah negeri yang sering diberi label negara agraris. Terlebih dalam krisis iklim seperti sekarang, ketersediaan pangan merupakan hal yang sangat penting.
Isu ketahanan pangan merupakan benang merah dalam Focus Group Discussion (FGD) Kajian Pendukung Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 khususnya sektor pertanian yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/BAPPENAS di Ballroom DoubleTree Hotel, Jakarta, Kamis 14 September 2023.
Para panelis yang hadir dalam acara itu di antaranya Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas RI Jarot Indarto, Presiden Direktur Koperasi BMI Group Kamaruddin Batubara atau biasa disapa Kambara, Bank Sinarmas Syariah, offtaker jagung nasional PT Seger Agro Nusantara dan Bank Mandiri.
Kambara mengutip ungkapan Albert Einstein yang kondang bahwa “hanya orang gila yang pakai cara sama namun ingin mendapatkan hasil yang berbeda”. Ini lah yang selama ini terjadi di sektor pertanian. Oleh karenanya, Kambara menawarkan gagasan baru dalam upaya mencapai kedaulatan pangan.
“Kita harus melakukan cara berbeda untuk mencari solusi pembiayaan bagi petani. Karena jika kita masih pakai cara yang sama, maka hasilnya akan seperti itu lagi. Hanya orang gila yang ingin mencapai hal yang baru dengan cara yang sama,” tegas Kambara.
Salah satu yang disoroti oleh salah satu Tokoh Koperasi itu adalah pembiayaan di sektor pertanian. Penerapan suku bunga rendah ternyata bukan jaminan meningkatnya produksi pertanian. Oleh karenanya perlu pendekatan baru selain suku bunga rendah. Ia justru mendesak perlunya kebijakan afirmasi (keberpihakan) yang nyata kepada sektor pertanian.
Salah satu kebijakan afirmasi itu adalah mewajibkan perbankan terutama bank BUMN untuk mengalokasikan pembiayaan pertanian sebesar 30%. Selain itu, perlunya skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pertanian yang dapat dengan mudah diakses oleh petani. Alternatif lainnya adalah mengoptimalkan zakat produktif untuk dana operasional dalam mengelola lahan wakaf yang belum digarap.
Petani juga perlu diberikan skema baru pembiayaan seperti sistem bayar panen. Dalam sistem ini, angsuran dibayarkan sesuai hasil panen. Jika lahan pertanian sudah menghasilkan, perlu dibangun ekosistem antara lembaga keuangan, petani, toko sarana produksi pertanian (saprotan), sarana produksi peternakan (sapronak), pabrik-pabrik terkait, dinas pertanian dan peternakan terkait dan pasar tradisional maupun modern.
Kambara menambahkan, produktivitas pertanian membutuhkan kolaborasi antara Kementerian yang terkait ketahanan pangan serta koperasi. Saat ini dari 134 ribu koperasi yang ada di Indonesia, 70% berbentuk koperasi simpan pinjam. Oleh karenanya, kementerian terkait perlu mendorong pembentukan cluster komoditas pertanian. Selanjutnya, menargetkan koperasi untuk mendorong potensi bahan pangan di wilayahnya.
“Seperti di Pantai Utara Banten, kita punya potensi tambak udang. Kita target berapa ton yang akan dihasilkan oleh anggota koperasi. Pertanian hortikultura juga ditarget. Cara ini lebih menjamin ketersediaan pangan,” pungkasnya.
Pendekatan baru untuk kedaulatan pangan memang belum tentu berhasil. Namun mempertahankan cara-cara lama sudah pasti gagal. Oleh karenanya, ungkapan Einstein di atas perlu untuk direnungkan. (Kur)