Tidak banyak generasi milienial tertarik berkoperasi. Sinyalemen yang pernah dikemukakan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki itu boleh jadi benar lantaran bisnis perkoperasian memang masih banyak dikelola kalangan senior usia di atas 50-an. Tetapi jika lebih jeli melongok dunia perkoperasian, maka tudingan itu baru sebatas asumsi. Buktinya sejumlah koperasi simpan pinjam (KSP) justru rajin mengembangkan teknologi pelayanan berbasis IT dengan rekrutmen kalangan generasi milenial.
Salah seorang anak muda milenial yang kini banyak mengibarkan panji koperasi melalui webinar aplikasi berbasis internet adalah Frans Meroga Panggabean Direktur Utama KSP Nasari yang juga penulis buku The Ma’ruf Amin Way. Tak hanya menjadi pembicara langganan di sejumlah webinar, Ketua Asosiasi Koperasi Simpan Pinjam (Askpindo) ini kerap muncul di media sosial online, cetak maupun televisi dengan gugatan khas anak muda, tegas, lugas dan tanpa tedeng aling-aling.
“Koperasi harus rajin mematut diri di tengah publik agar diperhitungkan sebagai pelaku bisnis yang andal,” ujarnya. Putera tokoh koperasi Jawa Tengah Sahala Panggabean ini mengaku terpanggil untuk menggencarkan sosialisasi perkoperasian lantaran pamor badan usaha yang digadang sebagai sokoguru perekonomian ini semakin sepi dari perhatian publik. Sebaliknya malah munculnya pelbagai kasus koperasi gagal bayar yang jusrtru menyudurtkan perkoperasian secara umum.
“ Saya menggugat ketidakadilan terhadap usaha koperasi yang makin jauh dari pemihakan pemerintah. Di satu sisi koperasi acapkali dibanggakan sebagai sokoguru perkenomian rakyat penyelamat UMKM di kala krisis, namun perlakuan terhadapnya masih memprihatinkan, ”ujarnya kepada PELUANG.
Alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pajajaran Bandung yang menyelesaikan Master of Business Administration di University of Grenoble Perancis ini mengakui daya saing koperasi umumnya masih lemah di sektor permodalan, manajemen dan akses pasar. Namun kendala klasik itu dapat diatasi sepanjang ada kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan koperasi. “ Dalam pasal 63 ayat 1 UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, disebutkan pemerintah bisa menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan koperasi.
Tetapi itikad baik itu masih berupa norma di atas pasal, nyatanya hingga kini bisnis koperasi makin teralienasi dari percaturan ekonomi nasional,” ulas pria kelahiran 27 Mei 1981 Semarang Jawa Tengah ini. Karenanya sejalan dengan tuntutan zaman, Peraih Certified Internal Auditor (CIA) dan Chartered Financial Analyst (CFA) dari Loyola Marymount University Los Angeles, California ini menawarkan konsep koperasi modern sebagai lokomotif transformasi ekonomi kerakyatan 5.0. Indonesia harus satu langkah di depan menganut 5.0 agar terwujudnya Visi Indonesia Maju 2030 dan Visi Indonesia Unggul 2045. Modal kuat mewujudkan transformasi era 5.0 itu, sambung Frans tidak hanya mengandalkan teknologi dan digital, tetapi tetap juga mengandalkan modal sosial masyarakat dan berbasiskan komunitas. Bentuk paling tepat sebagai pengikat dan pemersatu komunitas itu adalah wadah koperasi dengan prinsip keber-samaan dan gotong royong. (Irm)