hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Wisata  

Fort Rotterdam, Episentrum Perluasan Kota Makassar

Sepanjang abad 17-18, Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat kekuatan militer, simbol monopoli dan eksploitasi ekonomi VOC atas Makassar. Dari benteng ini mereka memungut bea dan cukai semua komoditas ekspor dan impor.

Fort Rotterdam

BENTENG ini mudah dikenali. Temboknya tebl dengan ukuran hampir dua meter, berwarna hitam, dan menjulang tinggi hampir lima meter. Gerbang utamanya yang melengkung memberi kesan megah klasik. Sebuah papan nama terpahat pada bagian atas gerbang dan bertuliskan: Fort Rotterdam.
Dia dikenal juga sebagai Benteng Ujung Pandang/Jum Pandang. Jika dilihat dari ketinggian, bentuknya menyerupai penyu yang merayap menuju laut sehingga benteng ini kerap pula disebut Benteng Penyu. Mulai dibangun pada 1545 semasa Raja Gowa IX. Arsitekturnya mengadopsi gaya Portugis; berbentuk segi empat dan berbahan dasar campuran batu dan bata.
Pada masa Raja Gowa XIV, tembok benteng diganti dengan batu padas hitam, batu karang, dan bata dengan perekat kapur dan pasir. Pada tahun berikutnya, dibangun lagi tembok kedua di dekat pintu gerbang.
Ekspansi VOC yang dipimpin Gubernur Jenderal Admiral Cornelis Janszoon Speelman berhasil memaksa Gowa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Semua benteng Gowa (total 17 buah) dirobohkan, kecuali Benteng Ujung Pandang. Speelman membangun kembali dengan gaya arsitektur Belanda. Nama benteng pun diubah menjadi Fort Rotterdam, sesuai tempat kelahiran Speelman. Bersamaan dengan perluasan dan pembangunan baru yang bersumber dari benteng, Makassar tumbuh menjadi kota dengan tata ruang kolonial.
Semua bangunan menggunakan atap berbentuk pelana dengan kemiringan yang tajam dan memiliki banyak pintu dan jendela. Sebuah taman hijau nan asri berada di tengah-tengah benteng. Rumput-rumputnya tertata dan rapi. Halamannya bersih. Benar-benar tempat yang layak dikunjungi.
Luasnya sekira 3 hektare. Ada lima bastion (pos penjagaan) di setiap sudut benteng dengan nama-nama: Bone, Bacan, Buton, Mandarasyah, dan Amboina. Tiap bastion dihubungkan dengan dinding benteng, kecuali bagian selatan. Untuk naik ke bastion terdapat terap dari susunan batu padas hitam dan batu bata. Bastion memiliki celah yang berfungsi sebagai tempat mengintai atau menembak.
Terdapat pula parit yang terletak berdampingan dengan tembok pertahanan. Bentuknya aslinya memanjang dan mengikuti bentuk site plan benteng yang menyerupai penyu. Kini, sebagian besar parit telah ditimbun untuk pembangunan rumah dan gedung di sekitarnya. Hanya menyisakan sekira 300 meter yang terletak di bagian selatan benteng.
Menyusuri sudut-sudut benteng dan lorong-lorong bastion begitu menyenangkan. Anda juga bisa memasuki ruangan sempit tempat penahanan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa. Sel ini memiliki ruangan yang sempit dengan pintu yang rendah. Tanpa ada kesan seram. Sebab, tempat ini dimanfaatkan pemerintah setempat sebagai perkantoran dan Pusat Kebudayaan Makassar sehingga terlihat bersih, rapi, dan terawat.
Selain melihat-lihat benteng secara gratis, pengunjung juga bisa mendatangi Museum La Galigo. Di sini terdokumentasikan sejarah dan budaya Sulawesi Selatan dari masa prasejarah hingga modern. Di sekitar benteng terdapat galeri seni, toko souvenir, dan toko yang menjual buku-buku hikayat dan sejarah kepahlawanan kota ini. Sebuah destinasi wisata sejarah yang lengkap dan menambah pengetahuan.
Imbas dari pembangunan kota, di sekitar benteng berdiri bangunan-bangunan bertingkat berupa ruko dan hotel dengan mengambil latar pantai. Di satu sisi mengganggu pemandangan benteng tapi di sisi lain memberi kemudahan bagi anda yang mengunjungi benteng ini.
Keberadaan Benteng Rotterdam terkait erat dengan masuknya VOC sebagai kongsi dagang yang datang ke sini. Sejak tahun 1615, penguasa Kerajaan Gowa saat itu, Karaeng Matoaya, telah memberi izin kepada orang-orang Belanda untuk datang dan berdagang di pelabuhan Kerajaan Gowa, yaitu Ujung Pandang. Kerajaan Gowa memang sengaja membuka bandarnya sehingga semua pedagang asing dapat melakukan transaksi niaga di wilayahnya. 
Sebagai pusat perekonomian dan keramaian, para pedagang yang aktif terlibat dalam jual beli tidak hanya terbatas pada pedagang domestik, melainkan juga para pedagang asing, seperti orang-orang Portugis, Cina, Inggris, Arab, Denmark, Prancis, dan Belanda. Yang berbeda,, orang Belanda datang ke Makassar bukan dalam sebagai pedagang bebas, melainkan sebagai suatu kongsi dagang. Mereka sudah memiliki kekuatan dan infrastruktur memadai, dengan jaringan kantor-kantor dagangnya yang tersebar dari Jawa hingga Maluku. 
Dengan aktivitas perdagangannya yang bertumpu pada monopoli rempah-rempah, VOC berkepentingan mempertahankan posisi istimewanya, khususnya di wilayah produsen. Dari sini muncul konflik kepentingan antara Kerajaan Gowa sebagai produsen rempah dan VOC sebagai pelaku monopoli rempah di kawasan timur Hindia. 
Perundingan perdamaian antara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa dan Cornelis Speelman menghasilkan Perjanjian Bongaya, 1667. Salah satu pasalnya menyatakan, semua (17 buah) benteng yang ada di wilayah Kerajaan Gowa harus dirobohkan. Sebaliknya, VOC membangun sebuah benteng baru di muara Sungai Tallo. Benteng yang dulunya bernama benteng Ujung Pandang diganti menjadi Fort Rotterdam, sesuai dengan kota kelahiran Cornelis Speelman. 
Sepanjang abad 17-18, Fort Rotterdam tidak hanya berfungsi sebagai pusat kekuatan militer dan politik asing, tetapi juga menjadi simbol monopoli dan eksploitasi ekonomi VOC atas Makassar. Dari benteng ini, VOC memungut bea dan cukai semua komoditi ekspor dan impor.
Pada tahun 1937, Benteng Rotterdam diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Yayasan Fort Rotterdam. Pada 23 Mei 1940, bangunan ini didaftar sebagai monumen bersejarah dengan Nomor Registrasi 1010 sesuai Monumenten Staatsblad Tahun 1931. Ketika masa pendudukan Jepang, benteng ini digunakan sebagai pusat penelitian ilmu pertanian dan bahasa. Benteng Rotterdam kemudian beralih fungsi menjadi pusat kegiatan pertahanan Belanda dalam menghadapi pejuang-pejuang Republik Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1949. 

Pada tahun 1970, Benteng Rotterdam dipugar oleh pemerintah dan difungsikan sebagai perkantoran. Salah satu gedung di dalam kompleks difungsikan sebagai Museum Provinsi Sulawesi Selatan yang bernama Museum La Galigo. Sejak 22 Juni 2010, Benteng Rotterdam dalam keadaan baik dan terawat sebagaimana mestinya itu ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya.
Setelah beberapa kali beralih fungsi, Fort Rotterdam, yang ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya tahun 2010, menjadi objek wisata budaya/sejarah di tengah Kota Makassar yang menarik untuk dikunjungi. Merasakan suasana masa lalu dalam iklim damai abad XXI tanpa dominasi puak kolonial Eropa.●(Nay)

pasang iklan di sini